🌼44-Dera dan Perpisahan

236 29 1
                                    

Dera kira dia tidak akan terlalu sibuk menjelang kelulusannya, tetapi nyatanya ia harus mengembalikan buku-buku yang dipinjam ke perpustakaan—dan ikut mendata karena anggota ekskul perpustakaan sedang kelabakan dan karena jumlah staf yang berkurang hari itu. Setelahnya ia bolak-balik sekolah untuk mendapatkan informasi terkait ujian-ujian perkuliahan dan beberapa lowongan kerja—yang termasuk dalam rencana B miliknya.

Ayahnya telah menjanjikan satu posisi untuk Dera di kantor yang sama, tapi ia telah mengutarakan untuk mencoba sendiri terlebih dahulu, untungnya Ayahnya yang biasanya kaku itu cepat menerimanya.

Tak terasa, selain waktu ujian yang semakin dekat, waktu acara perpisahan pun juga mendekat. Sepuluh hari lalu di sekolah, Dera dan teman-temannya sudah mengintip duluan nilai UN, dan karena bukan penentu kelulusan, banyak orang yang hanya senyum-senyum saja melihat hasil ujian mereka.

Acara siang itu ditutup oleh imbauan para guru untuk tidak melakukan coret-coret seragam dan pulang dengan selamat, tidak konvoi dan kebut-kebutan. Tiga hari kemudian sudah muncul undangan acara wisuda dan perpisahan yang berujung ke agenda Dera malam ini: fitting baju.

"Yah?" tanya Dera.

"Hmm," balas Ayahnya.

"Ini Dera cuma mau wisuda, kan? Bukan mau nikahan kan?" Dera bertanya dengan tangan terulur menunjukkan tumpukan setelan jas dan celana. "Kenapa kita perlu fitting 5 setelan jas dan celana?!"

Mas-mas berkepala botak yang ada di antara Dera dan Ayahnya pun hanya meringis.

"Kalau saran saya," ujar Mas-mas berkepala botak dengan nada suara yang lembut ala pemilik salon. "mending dari 5 itu, Mas sama Om pilih salah satu yang paling menarik."

"Dera setuju." Dera menyambar dengan cepat untuk meyakinkan Ayahnya.

Ayahnya hanya mendesah dan berkali-kali melihat ke antara satu setelan jas, lalu ke Dera, lalu ke cermin, lalu kembali ke setelan jas lagi, dan berulang begitu terus sampai setelan jas kelima.

"Ya sudah, Ayah pilih yang birunya agak gelap ini." Ayahnya menunjuk ke setelan jas dan celana yang sekilas terlihat berwarna hitam, tetapi aslinya warnanya adalah biru tua yang sangat gelap dan mengilat licin.

"Pilihan yang bagus, Om." Kini giliran Mas-mas botak itu yang menyambar. "Princess! Bungkusin yang ini!" Mas-mas botak tersebut memanggil pegawainya.

Seorang perempuan berambut lurus panjang berwarna hijau seperti Billie Eilish segera datang dengan cekatan dan membawa setelan jas itu untuk dipersiapkan.

Dera menghembuskan napasnya—lega. Kini giliran ia harus mempersiapkan diri untuk menyelesaikan apa yang dia mulai, tepat di hari terakhir ia mengucapkan perpisahan pada tempat di mana dia menjalani masa remajanya.

Sembari menunggu setelan jas yang ia pesan disiapkan oleh pegawai tadi, Dera menghadap ke cermin full body yang ada di hadapannya. Dera kini saling pandang dengan bayangannya sendiri, ia memandang dirinya sendiri yang dulunya berpikiran bahwa mungkin ia akan menjalani hidup dengan biasa saja.

Ia tidak akan tahu bahwa ia bisa melakukan apapun selain belajar formal di sekolah, ia memiliki banyak teman dan pandangan yang luas. Bahkan samar-samar suara Kai kembali terngiang di dalam kepalanya.

Saat itu ia sudah tertangkap basah, dan di tengah kekalutannya, ia hanya bisa menenangkan diri dengan meremas buku-buku jarinya sendiri.

"Terus, kenapa memang?" balas Dera sambil pura-pura sewot, meski suaranya benar-benar terdengar bergetar.

Kai pun juga balas mendengkus dan tersenyum singkat. Tangannya pun terulur, meninju pelan bahu Dera.

"Lo keren!"

Saat itu Dera langsung bingung dengan sikap Kai.

Terang saja, dia sudah mencoba menjadi orang ketiga dalam suatu hubungan, di mana kerennya?

"Lo nggak bakalan ngelepasin sahabat kecil Lo, ya?"

Dera mengangguk. "Apa kamu ada masalah?" tanya Dera.

Saat itu senyum Kai melebar dan bahkan ia sedikit tertawa.

"Nggak. Tapi menurut Gue, Lo keren. Lo punya tujuan yang Lo pegang dengan tangan Lo sendiri. Terus, Lo berani bergerak itu apapun itu. Tentu tujuan Lo yang jadi orang ketiga, perusak hubungan orang memang bukan sikap yang keren, tapi gue rasa sikap Lo dengan apa yang Lo mau itu keren.

"Malah sebenernya gue mau ngajak kita bersaing dengan fair. Gue nggak akan mengganggu rencana Lo ngedeketin Stella. Tapi gue akan serahin semua keputusan di Stella. Deal?"

"Nggak perlu." Dera menepis.

Ujung alis Kai mengangkat. "Why?"

Dera tersenyum. "Stella udah tahu yang sebenarnya, dari mulut gue sendiri."

"That's a lot cooler!" Kai membalas dengan antusias.

"Stella juga yang meyakinkan gue kalau perasaan yang gue rasakan ke dia udah mulai berubah. Jadi semua clear sekarang, kamu dan Stella tetap akan sama-sama pacaran."

"Lo yakin terima keputusan itu?" tanya Kai.

"Iya. Stella adalah masa lalu, sekarang Gue udah punya tujuan Gue sendiri."

Saat itu Kai bertepuk tangan dan menepuk bahu Dera.

Diberi semangat oleh murid laki-laki paling populer di seluruh angkatan, tentu saja di luar ekspektasi Dera.

Ia pun kembali lagi ke saat ini ketika ayah menepuk pundaknya dan mengajaknya untuk kembali ke rumah. Untuk beristirahat demi apapun yang akan ia lakukan besok.

Sementara itu di ruangan di bawah tandon air, Anya terduduk lemas saat mengetahui bahwa bunga di pot bunga milik Dera tumbuh semakin tinggi. Saat itu pula lah, perasaannya semakin campur aduk, dan ia tidak yakin bahwa ia siap untuk menerima bahwa Dera dan Stella akan mulai saling mencintai, berkat dirinya.

"Semua gara-gara kamu," ujar Anya, mengulang apa yang pernah dikatakan Dera dan menyadari bahwa kalimat tersebut memiliki banyak arti.

Gadis itu tertawa pelan.

🌼

Dera jarang ... mungkin hampir tidak pernah olahraga. Namun untuk hari ini, ia sudah berkali-kali mengembuskan napas seperti orang yang baru saja melakukan olahraga berat.

Pengumuman nilai sudah ia lewati, seharusnya ia gugup untuk UTBK mendatang, sementara hari ini ia hanya akan menjalani acara perpisahan, acara yang seharusnya diisi dengan kebahagiaan.

Dera memejamkan mata, berusaha menata isi pikirannya. Apapun yang akan ia lakukan hari ini merupakan hal-hal yang tidak akan bisa ia lupakan, dan entah apakah hasilnya akan menyakitkan atau memalukan, baginya itu nanti akan menjadi kenangan di cerita hidupnya. Jika hasilnya kebahagiaan, maka itu "bonus" yang bisa dinikmati oleh Dera.

"Oke!" gumam Dera pada dirinya sendiri setelah kembali membuka matanya.

Dengan setelan celana dan jas berwarna biru gelap serupa malam, ia keluar kamar dan menuruni tangga, menemukan ayahnya sedang berdiri membelakanginya, sibuk memandangi foto ibunya yang tergantung di dinding.

"Ayah," panggil Dera.

Ayahnya menoleh.

"Anak Ayah udah gede, ya, sekarang."

"Iya, dong," balas Dera.

Mereka pun lantas ke luar rumah dan memasuki mobil, bergerak menuju ke aula sekolah Dera.

Di bawah langit biru yang sama, Anya mengendarai sepedanya sambil membawa sebuah pot tanah liat di keranjang depan yang kini sudah tumbuh berbunga, sambil terus meyakinkan dirinya bahwa ini memang saatnya, dan bahwa orang-orang akan datang dan pergi, karena hidup seperti sebuah jalanan simpang empat.

Sesingkat itulah pertemuan setiap orang di sana—berlaku bagi dirinya dan Dera.

Blooming Between UsHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin