🌼43-Dera dan Tekad

214 28 1
                                    

Setelah ujian selesai, Dera punya banyak waktu luang. Artinya, akan semakin banyak waktu ia membuat hiasan-hiasan bunga kering dari resin. Walaupun sekarang, lagi-lagi waktu luang itu dipotong untuk menekuni soal-soal UTBK. Di rumah, ia tetap mengisi waktu-waktu tersebut untuk menekuni hobinya, sementara untuk menekuni soal, ia lakukan di toko bunga milik keluarga Anya.

"Tapi kapan-kapan aku pengin ikut bikin hiasan yang seperti itu," ujar Anya sambil memangku kedua pipinya.

"Kalau kamu udah selesai magang aja kali ya," balas Dera.

"Kelamaan dong!" Anya tidak terima, ia kembali ke gambar bestek rumah sederhana dua lantai yang masih harus ia kerjakan.

Dengan telaten, Anya menggerakan pensil di sepanjang penggaris segitiga, sambil memutar-mutar ujung pensil. Dera sudah sering memperhatikan itu, dan menurutnya, Anya terlalu jago.

Memutar grafit pensil di sepanjang penggaris sebenarnya memiliki tujuan untuk mempertahankan ketebalan garis, dan banyak orang yang tidak bisa melakukan hal kecil itu, termasuk Dera sendiri. Ada kalanya, pensil yang diputar akan lepas dari genggaman, atau memang Dera kurang terlatih melakukan hal itu karena semakin banyak gambar kerja, semakin ia lupa memutar ujung pensilnya.

"Omong-omong." Dera memecah keheningan.

"Hmm?" Anya merespons.

"Di luar bakal ada car free night, 'kan?"

"Iya. kenapa memang?"

Lelaki itu menoleh ke luar jendela, melihat tali-tali yang terulur dari tiang-tiang besi, di antaranya diletakkan pula payung-payung kecil beraneka warna. Sembari itu, matahari sore hari sudah semakin menghilang, lampion-lampion akan mulai menyala.

"Mau jalan-jalan?" tanya Dera.

"Hah?!" Anya mendongak. Jarang-jarang Dera memiliki agenda untuk sekadar jalan-jalan.

"Sehabis belajar bareng ini tentu saja! Aku nggak mau nilaimu turun lagi, apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas buat kamu. Terus ya, aku juga butuh healing habis ujian—"

"Kak Dera."

Dipanggil dengan nada serius begitu, mau tak mau membuat Dera menengok, hanya untuk menemukan bahwa pipinya mencium ujung tumpul pensil milik Anya.

"Mukamu merah banget itu." Anya terkekeh.

Dera terdiam, yang diucapkan Anya memang benar.

"Harusnya yang Kakak ajak jalan tuh Kak Stella, kenapa jadi aku?"

"Emmm ... satu, aku butuh healing, dua, nggak masalah kan kalau guru dan murid rekreasi sebentar," jawab Dera, berkilah.

Anya ber-oh panjang, lalu tersenyum.

"Oke, tunggu sebentar."

Setelah Anya kembali ke kertas gambarnya, Dera menengok ke luar, tenda-tenda makanan mulai dibuka dan didirikan.

🌼

Langit sore itu mulai berubah dari oranye menjadi biru selepas adzan maghrib berkumandang, saat itu pula, Anya dan Dera keluar dari toko bunga. Harusnya toko bunga tutup saat itu, tapi untuk memanfaatkan kemeriahan car free night, toko bunga tetap dibuka, dan biasanya yang berjaga adalah Anya dan Neneknya. Untuk saat ini, Nenek hanya akan beristirahat, jadi yang menggantikan posisi Anya adalah Ayahnya sendiri.

"Ah, anak muda," gumam Ayah Anya, berpura-pura menangis ketika melihat putri semata wayangnya pergi menikmati sore dengan seorang pria.

Sialnya, Anya mendengar hal itu, ia berusaha menjaga raut mukanya sambil keluar menutup pintu toko. Lonceng pun bergemerincing.

Blooming Between UsWhere stories live. Discover now