🌼33-Dera dan Kekhawatiran

186 27 0
                                    

Dua hari menjelang seleksi pemain utama di proyek film untuk kelulusan murid-murid tahun ketiga. Waktu berlalu begitu cepat, Dera sebenarnya semakin pasrah saja ditelan kesibukan persiapan ujian sekolah dan persiapan ujian kuliah.

Kali ini, saat matahari sudah agak meninggi dari ufuk timur, Dera memacu motornya sambil membawa peralatan yang tidak biasanya—yah, toh, hari ini adalah hari minggu, artinya bukan jadwal belajar bersama.

Namun, Anya memintanya untuk datang dengan seperangkat resin. Mendengar hal itu, Dera—tentu saja—menerimanya dengan hati yang sangat bahagia. Meski sekarang, walaupun masih di atas jok motornya, ia jadi berpikir.

Buat apa?

Dera menepikan motornya saat sampai di pelataran toko bunga. Di sana terdapat Anya dan neneknya yang sedang menyiram bunga di bagian depan toko.

"Pagi, Nek!" sapa Dera, ramah.

Perempuan tua itu menoleh dengan senyuman hangat.

"Pagi, juga, Nak. Sudah sarapan?"

Dera mengangguk. "Nenek kakinya gimana?"

"Nenek itu sudah mendingan dari lama, tapi Anya selalu nggak mau Nenek bantuin. Padahal dari awal, yang ngerjain toko ini kan ya Nenek sendiri." Perempuan tua itu berbalik dan memutuskan untuk duduk, Dera dengan sigap mengambil gembor yang hendak ditaruh di bawah.

"Nenek juga yang ngotot kalau di rumah malah bikin pegel-pegel, aku gak ada pilihan lain," balas Anya membela diri.

Menanggapi gerutuan Anya, Dera hanya tersenyum tipis sementara Nenek hanya terkekeh kecil. "Iya, Nenek janji nanti bakal tiduran sambil liat TV lagi, sekali-kali Nenek juga harus kena udara luar, betul kan, Nak Dera?"

Yang ditanyai pendapat manggut-manggut menyetujui. "Asal jangan kecapekan ya, Nek."

"Oh, tentu!" Neneknya Anya menjawab dengan semangat.

Lelaki itu lalu undur diri sebentar. Benar-benar tak ada sepuluh menit, ia sudah kembali ke depan dan langsung mengambil peranan membantu menyemai rumput-rumput kecil yang tumbuh secara tidak terduga, sementara Anya mengambil beberapa tangkai lagi untuk diolah menjadi bunga potong segar.

Tidak ada topik pembicaraan di antara mereka sore itu, hanya suara bising kendaraan yang lalu-lalang, suara angin, dan dengung kecil lebah-lebah penyerbuk yang sesekali harus terpaksa diganggu kegiatannya karena mereka sedang sibuk merawat tanaman.

Kira-kira empat puluh lima menit telah berlalu, Dera kini sudah duduk dengan tangan yang dibalut oleh sarung tangan. Di atas meja ada cetakan resin berbagai bentuk dan juga cairan resin yang ia bawa secukupnya, stik pengaduk, dan—

"Pengering rambut?" Anya terperanjat kala sebuah kotak besar menyembul keluar dari dalam tas ransel. "Buat apa? Maksudku, kalau butuh juga mending pakai punyaku aja, nggak repot-repot."

"Aku bakal jelasin gunanya nanti. Kalau soal kenapa aku bawa, ya ...." Dera ingin jawab kalau itu refleks, tapi dia memilih untuk diam dan mengalihkan topik daripada nanti ditertawakan, laki-laki kok punya pengering rambut?

"Kak Dera punya pengering rambut? Wow, keren, kenapa nggak pernah dipakai?"

"Hah?" Dera mengerjap.

"Dipakai buat styling rambut maksudku, padahal lumayan loh kalau punya pengering rambut, buat styling rambut cowok itu sangat krusial. Banyak style bisa dipakai cuma modal satu pengering rambut."

Mulut Dera membentuk O bulat. "Yah, aku memang pakai buat bikin resin aja. Kalau rambut nggak pernah coba, apalagi masih sekolah, belum kena helm, kan eman?"

Blooming Between UsWhere stories live. Discover now