🌼38-Dera dan Perubahan

200 26 0
                                    

Tok, tok, tok!

"Masuk!"

Dera meraih kenop dan mendorong pintu kayu setinggi 230 sentimeter itu ke dalam ruangan sambil berjalan masuk.

"Siang, Bu."

Bu Fresya mendongak dan tersenyum ke arah Dera.

"Pakai panggilan akrab aja, Der."

Meski tidak enak, Dera akhirnya hanya menunduk dan mematuhi apa yang diminta oleh adik dari Ibunya itu.

"Soal Anya, Tante?" tanya Dera sambil meraih kursi yang sudah disediakan berhadapan dengan tantenya.

Bu Fresya menganggukkan kepalanya. "Betul, Anya sedang sakit, apa kamu tahu detailnya?"

Meski lelaki itu mengembuskan napas, sebenarnya itu adalah napas kekecawaan. Mukanya langsung muram setelah tebakannya ternyata betul.

"Saya tidak tahu." Dera menggelengkan kepala. "Saya kemarin coba jenguk Anya, cuma waktunya ternyata nggak pas. Saya nggak sempat ngobrol sama Anya, tapi saya ketemu sama ayahnya."

"Oh, kamu sudah ketemu?"

Dera mengangguk.

Bu Fresya segera menimpali bahwa dia juga akan menemui ayahnya Anya jika memang ayahnya tersebut sudah pulang. Tadinya ia berencana akan membicarakan hal-hal terkait Anya kepada Nenek Anya yang juga menjadi wali.

"Syukurlah kalau ayahnya sudah ada, Tante bakal kirim undangan panggilan ke sekolah. Ngomong-ngomong apa Anya sudah boleh pulang."

Sayangnya Dera juga menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Tante, apa kondisi nilai Anya benar-benar mengkhawatirkan?"

Bu Fresya menekuk kedua telapak tangannya di depan mulut, terlihat seperti tengah menyiapkan kata-kata yang akan diucapkan.

"Sebenarnya tidak seburuk dia terancam tidak naik kelas. Cuma beasiswanya yang akan dicabut, hanya saja Tante nggak mau kalau nantinya Anya keberatan dengan biaya sekolah ... lalu putus sekolah?"

Bu Fresya memijat pangkal hidungnya. "Tante tahu, mungkin ini pikiran Tante yang terlalu berlebihan. Ini cuma biaya anak sekolah SMK ... dan biaya yang harus dia bayar tinggal setahun, mungkin bisa ditebus. Hanya saja, mumpung Anya sudah mendapatkan cara yang mudah untuk bersekolah, Tante pengin anak itu mempertahankannya."

Dera menatap adik dari mendiang ibunya itu tersenyum ke arahnya.

"Sebagai guru, Tante nggak ingin nggak peduli dengan murid Tante sendiri. Tante pengin berusaha membantu sebaik mungkin, sebagaimana semestinya seorang guru." Matanya mengawang jauh ke depan, menembus tubuh Dera yang duduk di depannya.

"Sebisa mungkin Tante berusaha peka jika ada progress nilai atau progress belajar murid yang menurun berturut-turut. Apakah ada masalah? Apa Tante bisa bantu? Apa perlu pendampingan BK? Tante ini guru, pengajar di sebuah sekolah, dan ini sudah tugas Tante dalam mengajar murid-murid, jadi ..." Bu Fresya mengarahkan tangannya ke puncak kepala Dera. "Kalau Dera butuh bantuan juga, silakan ngobrol ke Tante. Tante ini juga keluargamu di rumah, bukan cuma di sekolah."

Puncak kepalanya ditepuk-tepuk ringan, dan mau tak mau, Dera merasakan kehangatan. Sedikit beban di dalam hatinya terasa diangkat, lewat tangan dan senyuman di depannya, Dera jadi teringat mendiang ibunya.

"Oh, Dera nanti mau ketemu sama ayahnya Anya." Dera terbatuk, dia jadi terbawa suasana dan tanpa sadar berbicara dengan nada paling akrab. "Saya bisa bawa undangannya kalau Tante mau," lanjut Dera lagi, berusaha mengendalikan dirinya.

Blooming Between Usजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें