Bab 39 - Kasmaran

77 25 96
                                    

"Aku ..." Dadang menggantungkan ucapan, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, tangannya terkepal. Dia membuka mata kemudian mengungkapkan, "Aku cinta kamu ... Jennie Dinawanti!"

Jennie menghentikan langkah. Dia menggeleng dengan isak kecil yang lolos, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Dadang mencintainya di saat Jennie berusaha menjauh? Bagaimana bisa Jennie tahan akan hal ini?

Seharusnya Jennie segera berlalu dari sana dan pulang dengan sepeda lalu rebahan di rumah seraya menangis keras di balik bantal agar tidak ada yang mendengar.

Namun, kenyataannya, dia berbalik badan, menjatuhkan kantung kresek dan berlari menuju Dadang. Sepersekian detik, gadis itu menghambur ke pelukannya.

Persetan dengan detak jantung yang berdisko tak karuan dan juga pandangan orang-orang. Jennie hanya butuh kenyamanan.

"Jennie, juga cinta, Kang Lee."

Katakan ini ilusi! Tampar saja Dadang sekarang! Ayo, tampar! Dadang benar-benar tidak percaya dengan kata-kata Jennie. Boleh diulang Jen? Apa katanya?

Rasanya, Dadang seperti terbang bebas.

Pria itu menarik kedua sudut bibir hingga membentuk lengkungan pelangi terbalik, dia membalas pelukan Jennie.

"Aku tahu ... kamu enggak tahan tadi mau meluk aku 'kan? Gitu sok-sokan mau menjauh," sindir Dadang kemudian terkekeh.

Jennie mendengkus, dia mencubit perut pria itu pelan hingga Dadang mengaduh. Dia memeluk Dadang dengan perasaan nyaman. "Enggak jadi deh."

Dadang tertawa kecil. "Uhm, dasar!" katanya gemas seraya mengurai pelukan.

Jennie terkekeh saat netranya bertemu netra Dadang. Entahlah, ada rasa bahagia tersendiri baginya saat perasaan itu ia lepaskan, sampai-sampai ia ingin menangis terharu sekarang.

"Jadi, yakin mau jauhi aku?" Dadang menaik-turunkan alis, menggoda gadis di depannya.

Jennie menggeleng kecil, senyum masih tersungging di bibirnya.

Hujan mulai mereda seakan mendukung mereka yang dimabuk asmara.

Jennie mengusap pipi kanan Dadang. "Lo cinta gue, kan?"

Dadang mengernyitkan dahi, dia mengenggam tangan Jennie di pipinya. "Ngapain ditanya? Jelas-jelas tadi kamu udah denger, kan?"

Jennie membasahi bibir bawah kemudian tersenyum selebar mungkin. "Jadi pacar gue dong!"

Dadang berkedip. Ini pernyataan atau permintaan? Serius, Dadang sampai speechless mendengarnya.

"Apa-apa? Telingaku enggak sehat nih, kayaknya ada yang masuk deh." Dadang memasukkan jari telunjuk ke telinga kiri seolah-olah sedang mencari sesuatu yang sekiranya dapat menghambat pendengaran.

Jennie memejamkan mata. "Jadi pacar gue! Mulai sekarang lo jadi pacar gue, titik!"

Dadang merasa lututnya lemas. Jangan! Jangan! Jangan! Jangan pingsan, Dang! Malu sama bocil. Sangking bahagianya, Dadang serasa ingin menampar diri.

Jennie membuka mata, dia mengalungkan tangan di leher pria itu. "Jangan nolak pokoknya."

"Ohya? Kok maksa?" Dadang berkacak pinggang, dia menoel hidung Jennie asal hingga membuat sang empunya melotot.

"Harus! Kalo nolak ..." Jennie mengepalkan tangan kanan lalu meniupnya kemudian mengarahkan ke perut Dadang. "Awas lo!" ancamnya.

Dadang tertawa renyah dia mengacak-acak rambut Jennie. "Iya-iya, My Baby."

***

Seseorang yang memakai jaket hitam dengan payung di tangan kiri dekat lampu pilar di pinggir trotoar memandang hampa dua insan itu.

Dia tersenyum miris. "Ternyata ... cinta gue bertepuk sebelah tangan, Jen. Apa gue terluka? Pasti. Apa lo bahagia? Maka gue bakal menghilangkan kebahagiaan lo, Jennie Dinawanti."

***

"Saat bicara ... segala tentangmu ... kumemikirkan agar kubisa dekat dengan dirimu ...."

Reza yang mendengar sang kakak perempuan bernyanyi merasa terganggu. Dia sedang mengerjakan PR di ruang tamu, tetapi suara Jennie yang sumbang membuat fokusnya buyar.

"Jangan berikan ... waktu dirimu 'tuk menangisi sesuatu yang 'tak pasti ...."

Jennie terus bernyanyi dan menari-nari yang menurut Reza seperti orang gila. Aneh, Jennie tidak pernah bernyanyi apalagi menari seperti ini. Tadi tersenyum-senyum sendiri saat pulang dari alfamart lalu sekarang bertingkah aneh. Ada apa dengan dirinya? Kerasukan?

"Kak!"

"Hah? Kenapa, Beb?"

"Lo gila!" Reza menyipitkan mata curiga.

"Owh, makasih, Beb."

Reza menganga. Bukannya sakit hati, Jennie malah tersenyum bahagia. Tolong! Kakaknya benar-benar kerasukan.

"Lo sehat?"

"Hmm ..." Jennie mengambil duduk di samping sang adik kemudian mengambil alih bukunya. "Wah, ini pelajaran IPA, ya? Kakak enggak terlalu menguasai."

"Ternyata lo kagak sehat."

Jennie terkekeh, dia meletakkan bukunya kembali kemudian berjalan menuju dapur. Sedangkan Reza menghela napas lega, syukurlah kakaknya yang kerasukan itu akhirnya pergi juga.

***

"Bundaku Sayaaang, yuhuuu, lagi apa?" Jennie menyembulkan kepala di balik dinding pembantas antara dapur dan ruang tamu.

Bundanya menoleh seraya tersenyum. "Masak dong, yakali nyuci." Dia terkekeh dan melanjutkan aktivitasnya.

"Jennie, mau bantuin dong." Gadis itu mengambil alih sendok dan mangkuk yang berisi telur mentah itu.

"Heh? Tumben?" Melihat senyum yang terus tersungging di wajah Jennie membuat Fatimah mengernyitkan dahi.

"Tumben kenapa, Bunda?" tanya Jennie lembut.

"Kayak orang lagi jatuh cinta aja."

"Emang iya."

"Heh? Sama siapa?"

"Cowok."

"Siapa?"

Mendengar suara sang papa yang tiba-tiba menyela membuat niat Jennie yang hendak mengatakan yang sebenarnya pun terdiam, bahkan senyum tidak lagi tersungging di bibirnya.

Jennie tahu, Gibran membenci Dadang, bahkan berusaha menjauhkan Dadang dalam hidup Jennie. Jadi tidak mungkin dia akan memberitahukan yang sebenarnya.

"Kenapa diam? Jawab papa!" tanya Gibran tegas membuat Jennie menggigit bibir bawah.

"Bund, Jennie mau ngerjain PR dulu." Gadis itu segera melarikan diri sebelum ....

"Sama si Ojol?"

***

Tenang, baru awal, kita santai-santai aja dulu, konfliknya entar ... Prosesnya lama ... :)

Jangan lupa vote dan komen, ya, supaya author semangat^^

See you~

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang