Extra-part

7 6 10
                                    

Seorang wanita bercadar yang mengenakan pakaian syar'i berwarna biru muda itu tengah menuntun seorang balita usia empat tahun di sisi kanannya.

Jika sang ibu memakai pakaian syar'i maka anaknya memakai pakaian syar'i juga. Namun, berbeda dengan balita ini, justru pakaian yang ia kenakan lebih seperti tentara.

"Bu, lepac, Alci bica jalan cendiri!" Balita yang bernama Arsi Putri Pitaloka itu memberontak digenggaman sang ibu.

Ibunya terkekeh melihat gelagat sang anak yang menurutnya menggemaskan. Ia berhenti berjalan, lalu berjongkok untuk menyamakan tingginya pada balita itu.

"Ibu bakal lepasin, tapi ada syaratnya." Ibunya tersenyum lembut, ia menoel hidung sang balita.

Arsi mengangguk antusias. "Apa tuh?"

"Jangan jauh-jauh, ya, deket-deket Komandan aja, ya?" Sebenernya ia khawatir hendak melepas balita ini ke lapangan besar di sana sore ini. Di lapangan sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri terdapat barisan pasukan militer yang sedang latihan.

Lapangan ini berada di antara laut karena berada di kapal khusus militer. Tepatnya kapal yang dikomandokan oleh Gibran.

Arsi mengangguk, mata besarnya berbinar ceria. "Ciap lakcanakan!" ucapnya semangat. Saat genggaman sang ibu lepas, ia langsung berjalan cepat terjun ke area latihan pasukan militer.

Ibu sang anak yang bernama Jennie Dinawanti itu berdiri, tampak khawatir menghias wajahnya. Namun, ia selalu mendoakan sang anak yang terbaik.

Angin yang kencang mampu membuat langkah Arsi oleng hingga hampir terjatuh, hal itu semakin membuat sang ibu cemas.

"Jangan khawatir, putri kita itu pemberani dan kuat seperti ibunya. Jadi, angin biasa itu cuma remahan rengginang baginya."

Jennie menoleh ke kanan dan tatapannya dengan sang suami saling beradu. "Allah selalu di sisi hamba-Nya. Aku percaya anak kita memang sekuat itu, Kang." Ia pun menyenderkan kepala ke bahu kiri sang suami. Seketika bahu kirinya diusap-usap oleh sang suami.

"Dia bakalan jadi militer kayak kakeknya. Cita-cita anak kita keren juga."

Di sana, balita itu tengah menghampiri sang komandan hingga menjadi pusat perhatian. Bocah gembul dengan potongan rambut pendek dan diurai berwarna hitam pekat itu bersikap siaga dan mengangkat tangan lalu meletakkannya tepat di pelipis kanan--memberi hormat pada komandannya.

"Ciap Komandan! Lapol Komandan! Maap, Alci telat!" ucapnya lantang, membuat beberapa pasukan terkekeh ringan. Anak itu sangat menggemaskan, apalagi topi yang mirip dengan sang komandan yang ia pakai terlalu kebesaran.

Gibran menatap ke bawah, ia menautkan tangan di belakang. Tatapan tegasnya membuat Arsi begitu mengagumi. "Kenapa telat?" tanyanya.

Arsi mendongak dengan tatapan tegasnya. "Ciap Komandan! Tadi Alci makan bakco dulu! Bakconya cayang kalo ditinggalin!"

Sontak saja suaranya yang cempreng dan tatapannya itu membuat pasukannya gemas sendiri tak terkecuali Gibran yang kini terkekeh. Pria paruh baya itu berjongkok lalu mengangkat sang cucu kegendongannya.

"Kenapa kamu mau ikut latihan? Memangnya kamu mau jadi militer?"

Arsi mengangguk mantab. "Alci pengen kayak Komandan."

"Kenapa kamu mau jadi kayak komandan?"

"Karena Alci cowo!"

Gibran mencubit hidung cucunya itu dengan gemas. "Arsi Putri Pitaloka itu nama cewe. Kamu cewe bukan cowo."

Arsi menyengir membuat gigi kelincinya terlihat. "Memangnya cewe enggak bole jadi Komandan?" tanya balita itu dengan polosnya.

"Ya, enggaklah. Pemimpin itu cowo bukan cewe, coba deh kamu lihat di masjid, ada imam yang cewe enggak?"

Balita itu menggeleng dengan kecewa. "Ndak ada."

Gibran mengangguk pelan lalu menurunkan balita itu. "Sekarang, Prajurit, ayo berbaris!" ucapnya tegas pada Arsi.

Balita itu menghentakkan kaki kanan sekali seraya mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan. Ia memutar badan hingga berhadapan langsung dengan pasukan, kemudian balita itu melangkahkan kaki kanan seraya meluruskan tangan kiri yang terkepal sedangkan tangan kanannya ia usahakan lurus di belakang tubuh.

Langkah demi langkah telah ia lalui kemudian ia sampai juga di barisan paling depan dan barisan paling kiri. Setelah merasa siap dan lurus meski besar tubuhnya tidak sesuai dengan pasukan yang lain, tetapi ia tidak merasa gentar.

Justru, semangat begitu membara di hatinya. "Alci Putli Pitaloka berjanji akan cetia pada negala Indonecia tercinta! Akan melawan kejahatan dan penjajahan di lautan Indonecia! Alci pasti bakal jadi Komandan Militel!"

Tatapannya yang lurus, penuh keyakinan dan polos membuat siapa pun ingin menculiknya. Namun, jika mereka sadar bahwa balita ini adalah cucu seorang Komandan Militer, yang dilakukan hanya menggigit jari.

***
Ya ampun Arsi! Gemes deh pengen nyulik!

Huhu ... kita berpisah di sini guys:'( Semoga kita bisa menjalin ikatan keluarga lewat karya-karyaku. Semoga kamu mau baca ceritaku yang lain, ya, he he he ...

Jangan lupa vote dan kalau berkenan komen ya, xixi.

See you di ceritaku yang lain!

Wassalamualaikum.

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum