Bab 50 - Menghindari

16 9 9
                                    

"Om, saya nemu, Jennie, di jalanan. Dia nangis-nangis."

Gibran mengernyitkan dahi mendengar perkataan Rayan di depannya. Dia mengangguk-angguk kemudian menyenderkan punggung di sandaran sofa.

Rayan diam-diam merasa gugup setengah mati, sejak tadi kedua tangannya berada di atas pangkuan dengan keadaan basah akibat keringat. Sumpah, dia tidak bermaksud berbohong, dia takut kebohongannya terungkap.

"Emm, tapi kok, matanya enggak sembab? Kan, kalau nangis-nangis pasti sembab. Iya, kan, Pah?" tanya Fatimah seraya menatap Gibran yang duduk di sampingnya.

Gibran mengangguk-angguk lagi, dia langsung menatap curiga pada Rayan. "Kamu--"

"Eh, anu, iya, soalnya, kan, nangisnya enggak lama. Rayan, nemu dia di ujung aspal kompleks ini, he he he," sela Rayan, takut ketahuan.

Gibran dan Fatimah ber'oh ria. Ada benarnya juga, perjalanan jauh dapat membuat sembabnya hilang.

Rayan segera berdiri diikuti oleh kedua orang tuanya Jennie. "Emm, Rayan, pamit, ya? Jennie-nya, kan udah ketemu dengan selamat, he he he."

Gibran dan Fatimah tersenyum. Gibran mendekati Rayan lalu menepuk bahu kanannya. "Saya enggak salah ngasih kepercayaan sama kamu. Tolong jagain, Jennie, lagi, ya?"

Rayan tersenyum, mengangguk sopan kemudian berkata, "Iya, Om. Yasudah, Om, Rayan, pamit pulang, ya? Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Gadis itu terperanjat dari tidurnya. Napasnya terengah-engah, dia mengedarkan pandangan.

Tidak ada siapa-siapa.

Sinar mentari mulai menyinari kamarnya melewati biasan cahaya dari kaca jendela yang berlapisi korden putih panjang menjuntai sampai ke lantai.

Gadis itu mulai mengatur napas, berkedip lalu mengernyitkan dahi. Dia menyentuh bibir, mengusapnya dengan ujung jari telunjuk, jari manis dan jari kelingking.

"Njir, gue mimpi dicium, Akang!" gumamnya seraya menggeleng kecil. Segera dia bangkit lalu berlari menuju kamar mandi karena sudah dipastikan ia telat sekolah.

***

"Tau enggak, pas kemaren di desa, tempat nenek, Rehan, nangis ketemu kodok. Bwa ha ha ha, asli ngakak, Reza!" Reza tertawa sampai memukul-mukul punggung Roman di sampingnya.

Roman dan Ramadhan tertawa sedangkan Rehan melototi mereka.

"Ish! Abang!" hardik Rehan kesal, hampir saja melempar gelas kaca di genggaman.

Reza, Roman dan Ramadhan berhenti tertawa, tetapi masih cekikikan membuat kedua orang tuanya menggeleng.

Terdengar langkah kaki yang terburu-buru di ubin membuat atensi mereka teralihkan dan mendapati Jennie dengen stelan seragam SMA. Hal itu membuat mereka mengernyitkan dahi.

"Lah? Kak Jen? Mau ke mana?" teriak Reza.

Jennie tidak menjawab, dia tidak punya waktu untuk menjawabnya karena ia harus segera ke sekolah. "Bun, berangkat, Assalamualaikum!"

"Berangkat ke mana? Sekarangkan tanggal merah."

Langkah Jennie berhenti, dia tertegun. Apakah benar sekarang tanggal merah? Sebentar ... sekarang tanggal berapa?

"Tanggal satu Juni. Hari lahir pancasila, tanggal merah. Kakak, mau sekolah di mana?" Ramadhan terkekeh geli.

"Makannya liat tanggalan, Kak!" ledek Rehan.

Jennie menghujam tatapan tajam pada adik-adiknya. "Kok enggak ada yang ngasih tahu, sih? Untung aja belum sampe sekolah, pantesan, Rayan, enggak jemput."

Gadis itu berbalik badan kemudian berjalan hendak bergabung bersama adik-adiknya di ruang makan, tetapi saat matanya bertemu mata tegas sang papa, dia berhenti.

Gibran menampar Jennie kuat, sampai membuat gadis itu terhuyung ke samping kanan.

"Sudah cukup! Kamu keterlaluan!"

Jennie teringat kejadian kemarin, hal itu membuatnya mengepalkan tangan kanan dan tatapan yang ia berikan dapat dimengerti oleh papanya. Gibran bangkit berdiri, Jennie berbalik badan.

"Karna dia tidak dapat membahagiakan kamu!" Gibran menyentak tangan Jennie di kerah kemejanya kemudian menatap tajam.

"Kata siapa?"

"Bersama si Ojol Sialan itu, kamu tidak akan bahagia! Selamanya kamu akan menderita!"

Kata-kata Gibran kemarin terlintas di ingatannya, membuat Jennie tambah merasa kecewa. Gadis itu berlari menjauh, bahkan mengabaikan panggilan dari orang-orang di ruang makan itu.

Walaupun suara sang papa kini mulai membentak menyuruhnya untuk berhenti, Jennie tidak peduli, dia terus berlari sampai kembali ke kamarnya dan mengurung diri.

Fatimah segera mengejar anaknya, begitu khawatir dengan Jennie. Selepas ia pergi, suasana ruangan menjadi hening.

"Em, Reza, mau boker," kata Reza kemudian keluar ruangan.

Ramadhan ikut mengundurkan diri. "Rama, mau ke kamar, ngerjain tugas sekolah."

Beberapa menit kemudian, Rehan dan Roman ikut pergi dari sana, meninggalkan Gibran di ruang makan.

Pria itu menjatuhkan sendok hingga menimbulkan suara detingan. Helaan napas terdengar sesaat setelahnya. Gibran menyatukan kedua tangan hingga membentuk satu kepalan, menjadikan kedua siku sebagai tumpuan di atas meja, meletakkan dahi di atas kepalan tangannya.

Putrinya menghindarinya, mencoba menjauhinya, hanya karena kejadian kemarin.

"Astagfirullah, maafkan papa, Jen. Papa cuma mau yang terbaik buat kamu dan asal kamu tahu ... Raden Al Surya, masih bagian dari kita."

***

"Jen, buka pintunya! Kamu belum sarapan, Sayang. Ayo, Nak, sarapan dulu, nanti kamu sakit."

Jennie merenung di balik pintu kamar, enggan bergerak barang sedetik pun. Dirinya masih kecewa, melihat Gibran mengingatkannya akan peristiwa kemarin.

"Jen, buka pintunya, Sayang ..." Di balik pintu, Fatimah berseru dari sejak sejam yang lalu. Wanita itu tidak mudah menyerah, dia terus berusaha walaupun telah lelah.

Jennie memejamkan mata sejenak, dia berdiri kemudian membuka pintu. Fatimah langsung memeluknya, begitu erat, seakan putrinya akan pergi saat itu juga, dia begitu takut ... takut kehilangan putri satu-satunya itu.

Jennie membalas pelukan sang bunda, dia tersenyum. "I love you, Bunda. Maafin, Jennie, yang udah buat, Bunda, khawatir, ya?" Dirinya kini mulai merasa bersalah telah pergi dari rumah tanpa meminta izin dari siapa pun.

Bundanya menangis haru, dia mengurai pelukan kemudian mengecup wajah Jennie berkali-kali. "I love you too, it's okay. Yang penting jangan diulangin lagi, ingat itu? Bunda khawatir banget kemarin kamu tidak ada di rumah. Bunda takut kehilangan kamu."

Jennie tersenyum tipis, dia mengusap air mata sang bunda. "Udah jangan nangis lagi, Bun. Jennie, baik-baik aja kok. Yuk, sarapan."

***

Thank you Sobat, karena udah mau baca sampe sini, semoga betah dan tetap dukung aku yah:>
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote dan komen sebagai bentuk apresiasi pembaca untuk penulis, ya, Sobat:>

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang