Bab 64 - Bukan Kecelakaan?

20 7 21
                                    

Dadang menghela napas menatap sang nenek yang terbaring di ranjang rumah sakit. Neneknya mengalami kecelakaan yang lumayan saat sedang di kamar mandi. Ini juga karena kelalaian adiknya yang tidak memperhatikan.

"Maaf, Na--" Nana yang berdiri memojok di sudut ruangan dan mengadap tembok mengatakan sesuatu, tetapi keburu dipotong Dadang saat ucapannya belum kelar.

"Diem! Berdiri di situ aja! Enggak usah ngomong!" Dadang menatap tajam sang adik lalu mengalihkan atensi ke sang nenek yang masih terbaring tak sadarkan diri.

Mata Nana mulai memanas, pandangan kabur akibat terhalang air mata yang mulai memenuhi mata. Dia sangat merasa bersalah, bisa-bisanya ia lalai menjaga sang nenek.

Dadang mendesah, menekan paha kanan dan memijit pangkal hidung. "Kenapa, sih, Na?"

Iya tahu, Nana salah, tetapi ia tidak sepenuhnya salah karena di awal sebelum sang nenek pergi Nana sudah mencegahnya dan menyuruhnya untuk menunggu, tetapi neneknya tetap bersikeras ke kamar mandi sendiri dengan alasan ingin mencuci wajah.

"Ngurus nenek aja enggak bisa? Apa susahnya coba nemenin nenek ke kamar mandi sebentar? Emang apa yang lebih penting dari nenek, hah?" Kini suara Dadang mendingin membuat Nana tak kuasa menahan tangis.

"Ma--maaf, Kang. Janji eng--enggak ngulangin la--lagi," cicit Nana yang masih dapat terdengar oleh Dadang karena sunyinya ruangan itu.

Dadang bangkit berdiri, berjalan perlahan menghampiri sang adik. Ia tahu, adiknya tidak akan seceroboh itu hanya karena sesuatu yang tidak penting. Ia tahu, ada sesuatu hal yang membuatnya harus fokus.

Pria itu membalik tubuh sang adik lalu mendekapnya erat, meletakkan dagu di atas puncuk kepalanya dan mengelus lembut punggungnya. Perlakuan Dadang diterima baik oleh sang adik yang justru membalas pelukannya dan menambah tangisannya.

"Iya, akang tahu, Na ... akang tahu. Pasti ada sesuatu, apa itu?" Dadang mengurai pelukan, menangkup kedua pipi adiknya, menunduk sedikit untuk menatap mata berkaca-kacanya.
Nana berusaha mengontrol napasnya yang tercekat dan sesenggukan. Perlahan air matanya dihapus oleh ibu jari sang kakak.

"Semua itu terjadi ... terjadi di saat Nana mendapatkan surat misterius."

Dadang mengernyitkan dahi mendengar penuturan Nana. Surat misterius?

"Surat itu ada di kamar nenek yang ternyata digunakan untuk membungkus jarum jahit berukuran sedang. Nana kira itu punya nenek, tapi tulisan tangan di surat itu bukan tulisan tangan nenek.

"Tulisan tangan itu juga bukan tulisan Nana, Akang, Jennie, ataupun temen-temen di sekolah. Tulisan tangannya juga pakai tinta merah berbau darah.

"Makannya Nana masih menyelidiki surat itu dan lagi baca, tapi Nenek minta ke kamar mandi padahal Nana udah cegah dan suruh nunggu sebentar. Eh, pas siap baca surat itu Nana dengar suara nenek teriak."

Nana menjeda ceritanya untuk memastikan sang kakak masih mendengarkan dan mencerna semuanya.

"Terus?" Dadang menagih ceritanya.

Nana berjalan perlahan menuju ranjang sang nenek diikuti Dadang. "Terus Nana samperin dan ngeliat nenek masuk ke bak mandi dengan posisi telentang dan kepalanya seperti terantuk dinding sampai berdarah."

Dadang mengangguk mengerti. "Sampai berdarah?" gumamnya kemudian menatap dahi sang nenek yang diperban.

"Itu artinya bukan kecelakaan, melainkan ada yang dorong 'kan?" Nana menatap sang kakak sambil duduk di samping ranjang neneknya.

Pria itu bertolak pinggang sebelah kanan sedangkan tangan kirinya digunakan untuk mengusap wajah. "Masa' iya? Siapa malam-malam mau masuk rumah? Emang pintunya enggak dikunci?"

Nana menunduk. "Pintu depan memang dibuka, lupa mau ditutup."

"Astagfirullah," ucap Dadang sekali helaan napas gusar. "Apa perlu kita lapor Polisi untuk diselidiki lebih lanjut?"

***

Gibran tersenyum, menatap cowok bersarung hijau kotak-kotak dengan kemeja putih di hadapannya. "Ayah bangga sama kamu. Maafin ayah untuk masa lalu, ya?" ucapnya dengan sesak mulai merayapi mengingat pernah melupakan sang anak sulung.

Raden tersenyum maklum, memeluk ayahnya singkat kemudian menghela napas. "Iya, Yah. Udah dimaafin kok, justru Raden yang minta maaf buat masa lalu, udah pernah punya niat buat balas dendam sama keluarga kalian," ucapnya penuh penyesalan.

Gibran menggeleng, menepuk pundak kiri Raden. "Lupakan masa lalu, mulailah lembar yang baru. Mari ikut denganku," ajaknya dengan harapan Raden mau ikut bergabung bersama keluarganya.

Raden menggeleng kecil membuat Gibran mengernyitkan heran. "Kenapa, Nak?" tanyanya.

Raden meraih tangan kanan Gibran lalu mengecupnya singkat. "Raden malu, Yah. Raden belum siap, Raden mau bertobat dulu. Raden bakal tinggal di sini, di dekat kalian aja."

Gibran tersenyum. "MasyaAllah, jadi kamu benar-benar sudah mendapatkan hidayah? Pertahankan dan tanam. Kamu tidak perlu malu untuk pulang karena di sanalah seharusnya tempatmu. Ayolah, Nak!"

Raden menggeleng berat. "Jennie, dia pasti marah. Raden enggak mau bikin dia marah, Yah. Raden akan melihatnya dari jauh, melihatnya bahagia."

Gibran tersenyum bangga hingga melebar. "Ayah salut sama kamu. Semoga perubahan kamu ini mampu membuat Jennie memaafkan atas kesalahanmu di masa lalu."

Raden mengangguk seraya tersenyum. "Aamiin. Ohya, Yah. Raden saranin jangan masukin Jennie ke pesantren."

Gibran mengernyitkan dahi. "Kenapa enggak? Lebih baik dia masuk pesantren, agar aman dan jadi muslimah seperti bundanya."

Raden menggeleng kecil. "Raden cuma mau nyaranin saja kalau mau pesantren jangan di sini, tetapi di Jakarta saja, biar lebih mandiri kalau di sini sama saja enggak mandiri, dia bakal membuat pelanggaran karena merasa dekat dengan orang tuanya."

Gibran mengangguk-angguk paham. "Tapi, kalau di Jakarta Jennie bakalan ketemu sama Ojol itu lagi! Ayah enggak mau mereka bersama lagi."

"Iya juga, ya? Raden juga enggak setuju sama hubungan mereka."

Gibran mengangkat satu alis. "Hubungan apa? Mereka punya hubungan spesial?"

Raden mengangguk. "Kalau, Ayah, percaya itu benar. Mereka pacaran."

Rahang Gibran mengeras, kepalan tangan mulai menguat dan napasnya tidak teratur. Berani-beraninya mereka? Gibran tidak habis pikir hubungan Jennie dan Ojol itu akan sedekat ini, pantas saja Jennie mulai berani melawannya.

"Ojol itu memberikan pengaruh buruk untuk Jennie dan juga memberikan masa depan yang suram nantinya. Makannya ayah akan menjauhkan mereka untuk selama-lamanya." Gibran mengucapkan itu dengan amarah yang tertahan.

Tanpa disadari, sempat senyum miring tersungging di bibir Raden.

***

Si Raden teh beneran tobat apa kagak, sih?! Terus isi surat itu apa?

Semoga suka! Jangan lupa vote + komen + ikuti alurnya, yau^^

Lopyu:*

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum