Bab 45 - Penghianat?

21 13 10
                                    

"Jen, gue langsung pulang, ya?"

Jennie keluar dari mobil kemudian berdiri di sampingnya. "Serah."

Rayan menghela napas, dia kemudian menjalankan mobilnya perlahan. Sedangkan Jennie sudah masuk ke rumahnya melewati gerbang.

Samar-samar ia mendengar orang berbincang di ruang tamu. Nampak juga ada sekitar tiga orang di sana. Jennie segera berjalan mendekat dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui siapa yang kini duduk di sofa.

Di sana ada Gibran, Raden dan ... Clara. Si penghianat itu ada di dalam rumahnya? Mau apa mereka?

Jennie mengepalkan kedua tangan, rahangnya mengeras. Di sana papanya terlihat tenang sekali padahal dia tahu bahwa dua penghianat itulah yang dulu pernah menculik anaknya dan berniat membunuhnya.

Jennie berjalan cepat, tangan kanannya gesit menjambak rambut Clara dari belakang sofa. Emosinya bergejolak, membuat Gibran, Raden dan Clara terkejut dengan aksinya yang tiba-tiba.

"Jennie!" Gibran membentak, dia berdiri supaya anaknya mau melepaskan jambakan tersebut.

"Jen, jangan!" Raden berusaha melepas jambakannya, tetapi dengan kasar Jennie meninju wajahnya dengan salah satu tangan yang bebas.

"Bang*at, kalian berdua! Berani-beraninya masuk ke rumah gue! S*alan! Mati aja lo!" Jennie kalang kabut, bentakannya menggema di penjuru ruangan.

Clara menahan sakit, dia mencoba menarik rambutnya supaya terlepas dari jambakan Jennie. Gadis itu mulai mengeluarkan air mata di sudut matanya. Clara dapat melihat mata Jennie berkilat-kilat penuh amarah.

"Jennie! Jaga bicara kamu!" bentak Gibran seraya menarik anaknya untuk menjauhi Clara.

Jennie memberontak saat dirinya ditarik Gibran mundur. "Lepas, Pah!"

"Enggak! Kamu harus sabar! Jangan asal main kasar!" Gibran melotot membuat Jennie melepas jambakan dan melepas diri dari kuncian papanya.

"Cih!" Jennie berdecih sinis, balas menatap papanya dengan benci. "Kenapa belain dia? Apa, Papa, lupa yang mereka lakukan sama, Jennie, dulu? Apa, Papa, sekarang berubah jadi malaikat buat mereka? Kenapa? Kenapa, Pah?" Matanya memancarkan kekecewaan pada sang papa, dia mulai meneteskan air mata.

"Bukan gitu ..., Jen. Semua orang pasti bisa khilaf," kata Gibran berusaha mengontrol emosinya.

"Terus? Mentang-mentang mereka ngaku khilaf, Papa, maafin gitu aja? Papa, enggak mikir gimana kalo suatu saat nanti mereka buat ulah lagi? Gimana, Pah? Apa, Papa, enggak mikirin, Jennie? Jawab, Pah!"

Jennie benar-benar marah dan kecewa, bahkan dia berani membentak papanya, padahal dulu dia begitu menghormati dan menuruti sosok Gibran.

Tangan kanan Gibran terangkat, matanya membola, siap hendak melayangkan pukulan, tetapi dicegah oleh Raden.

"Udah, Om. Enggak pa-pa, biar dia lampiaskan semua kemarahannya dan menyakiti kami. Kami terima dengan lapang dada karena--" Perkataan Raden terpotong karena Jennie secara brutal memukuli.

Raden terjatuh di ubin, posisinya telentang, Jennie langsung mendudukinya dan menghajarnya berkali-kali seperti orang kesetanan. Raden tidak membalas, dia benar-benar menerimanya.

"B*cot! T*i! Omong kosong! Lo bang*at!" maki Jennie dengan wajah merah padam. Sungguh dia sangat muak dengan wajah Raden, dia akan menghabisi cowok itu kalau saja papanya tidak menariknya menjauh. "Lepas, Pah! Jennie, mau bunuh dia!"

Saat Jennie sudah mulai menjauh dari Raden yang terbaring tak berdaya di ubin, saat itu juga Clara datang dan duduk di samping cowok itu.

Gibran menampar Jennie kuat, sampai membuat gadis itu terhuyung ke samping kanan.

"Sudah cukup! Kamu keterlaluan!"

Jennie terdiam, suasana seketika menjadi hening. Gadis itu menatap Gibran dengan penuh kekecewaan, dia tersenyum miris. Papanya sendiri membela musuhnya?

"Mereka datang baik-baik karena ingin meminta maaf! Harusnya kamu berpikir jernih dulu! Jangan asal hajar saja! Ngerti?" Mata Gibran memancarkan amarah yang mengerikan, hal itu membuat Jennie merasa lemas.

Gadis itu menatap kedua orang yang duduk di ubin dengan nanar. Kemudian dia menatap sang papa sengit. "Kalo gue enggak mau?"

"Jaga sopan santun kamu, Jen! Saya ini, Papa, kamu! Saya yang memberikan semuanya, harta dan pendidikan! Jangan bikin saya muak sama kamu, Jen!"

Jennie mengalihkan pandangan, kini bulir-bulir keringat dan air mata mulai membasahi wajahnya walaupun tidak ada suara isak tangis yang dapat lolos.

"Jennie, kecewa, Pah ...," lirih Jennie membuat Gibran terenyuh. "Lalu? Kenapa, Papa, membenci orang yang aku cintai padahal dia tidak salah apa pun? Kenapa? Kenapa mereka yang punya banyak salah terus dateng cuma modal khilaf katanya langsung, Papa, maafkan?"

Gibran terdiam, putrinya ini tidak mengerti juga.

Jennie menatap Gibran dengan keberanian yang tersisa. "Kenapa, Pah? Kenapa?"

Mendapati Gibran hanya diam tanpa ada niatan menjawab pertanyaannya, Jennie mencengkram kedua kerah kemeja sang papa. "Jawab, Jennie, Pah ...."

"Karna dia tidak dapat membahagiakan kamu!" Gibran menyentak tangan Jennie di kerah kemejanya kemudian menatap tajam.

"Kata siapa?"

"Bersama si Ojol Sialan itu, kamu tidak akan bahagia! Selamanya kamu akan menderita!"

"Sekarang tanpa dia, apakah, Jennie, bahagia?"

Pertanyaan Jennie membuat Gibran terdiam. Tentu saja sekarang anaknya itu tidak bahagia, penampilannya saja sangat menyedihkan sekarang. Namun, tetap saja bagi Gibran, kesedihannya yang sekarang hanya akan sementara sedangkan kesedihannya jika bersama tukang ojol itu akan selama-lamanya.

Gibran tidak akan membiarkan putrinya sengsara suatu saat nanti.

"Lalu? Apakah pekerja ojol seperti dia dapat menafkahi kamu selama-lamanya dengan baik? Apakah suatu saat nanti kalian mau bekerja terus tanpa ingat istirahat demi sesuap nasi? Apakah dia dapat menjamin ekonomi dan pendidikan anak kalian suatu hari nanti? Apakah kamu tidak memikirkan masa depan kamu?"

Kini Jennie yang terdiam, isak tangis lolos juga walau pelan. "Tapi, Jennie, cinta--"

"Mau makan cinta? Apa bisa kalian hidup dengan cinta? Apakah cinta bisa membuat rumah, pakaian, makanan dan biaya lain? Apa bisa, Jennie Dinawanti?"

"Apakah hanya dengan harta dan tahta tanpa cinta dapat membuat, Jennie, bahagia, Pah?"

Bukan Jennie yang mengatakan itu melainkan Fatimah.

***

Uhuk, gantung lagi:v

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang