Bab 74 - Kenapa?

11 5 15
                                    

"Jadi ... kenapa lo baru dateng hari ini?" Netra melipat lengan di depan dada. Satu alisnya terangkat menatap gadis berjepit ungu tersebut. "Lo lupa sama perjanjian awal?" tanyanya lagi.

Gadis itu meringis, ia benar-benar lupa. "Maaf, saya lupa kalau ada kerjaan." Tangan kanannya mengusap lengan kiri untuk mengurangi rasa canggung. Ia baru tahu, Netra, gadis yang baik itu bisa semengerikan ini bila sedang kesal.

Netra mendesah, ia menunjuk ke belakang dengan jempol kirinya, mengarah pada anak-anak lain yang sibuk membersihkan taman kanak-kanak itu.

"Lo liat mereka ... tanpa imbalan apa pun bahkan mereka cuma dikasih makan sama minum gratis oleh pihak sekolah ini, tapi mereka masih bertahan dan semangat buat kerja di sini. Sedangkan lo? Udah minta imbalan, lupa sama perjanjian lagi." Netra berdecih sinis.

Nana menunduk dalam. Bagaimana ini? Firasatnya memburuk, hatinya gelisah. Ia tidak mengerti.

"Kalo lo merasa keberatan sama kerjaan ini harusnya dari awal lo nolak dong. Jadi gue juga enggak repot-repot bantuin lo!" Netra mengembuskan napas kasar, berusaha mengendalikan emosi. Sial, dia butuh obat itu! "Gini aja, gimana kalo kita batalin perjanjian awal?"

Nana mendongak, berkedip. Jika dibatalkan maka ... tidak ada yang membantunya untuk bisa mendapatkan hati Rayan. Tunggu dulu ... perjanjian itu ia minta ketika sang akang meminta bantuannya agar hubungan sang akang dengan Jennie bisa bertahan dengan cara memutuskan pertunangan itu.

Sekarang ... ia tahu, akangnya itu sudah mendapatkan restu dan ia tidak perlu lagi repot-repot mendekati Rayan lagi bukan?

Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya. "Iya, saya sangat setuju."

***

Pagi ini seperti biasa Rayan datang ke sekolah dengan tebar senyum ke semua orang kecuali pada Nana. Dia bersyukur gadis itu tidak mengganggunya, mungkin gadis itu menyerah karena selalu ia cuekin.

Cowok itu menguyar rambut ke samping kiri dan bersiul sekali, salah satu bibirnya terangkat. "Gadis bodoh," gumamnya.

Namun, dia merasa seperti ada yang kurang. Seperti ada yang berbeda, ah, tidak mungkin karena Nana. Seharusnya ia senang gadis itu tidak mengganggunya bahkan cuek padanya sekarang.

Yah, cuek sekali. Bahkan gadis itu melewatinya begitu saja tanpa melirik sedikit pun, bukankah biasanya gadis itu akan meliriknya dan tersenyum padanya seperti kemarin?

Rayan menggeleng, kenapa ia begini? Kenapa ia malah memperhatikan Nana sampai punggung gadis itu mengecil dan hilang di balik tikungan kooridor?

Tepukan keras yang mendarat tepat di bahu kiri membuat Rayan menoleh dengan raut kesal begitu tahu siapa dalangnya. "Sakit beg*!"

Yonda tersenyum jahil. Ada apa dengan cowok itu? "Ngapain merhatiin Nana segitunya? Kangen lo?" cibirnya seraya mengangkat satu alis.

"Dih, kangen pala lo!" elak Rayan seraya menempis tangan Yonda di bahunya kemudian menampar pipi temannya itu pelan. "Anda jangan ngadi-ngadi, ya!" Setelahnya Rayan melanjutkan langkah menuju kelas.

Yonda tergelak di sana, berjalan mengejar sang sahabat dan kini mereka berjalan beriringan. "Gue denger kabar kalo ... lo gagal nikah," ucapnya masih belum puas untuk mengejek Rayan.

"Masalah buat lo?"

"Selow, Bang, sensi amat." Yonda kembali tergelak. "Intinya aja ... lo sebenarnya naksir Nana, kan?"

Kali ini, Rayan menatapnya seraya menghentikan langkah. "Enggak!" tekannya sebelum melanjutkan langkah lagi.

Yonda tergelak lagi. "Ah, masa', sih? Ngaku aja deh, Ray."

"Gue enggak naksir sama dia! Enggak akan pernah, paham lo?"

"Tuhkan, masih aja gengsi! Udah jujur aja ngapa?" Telunjuk Yonda jahil mencolek dagu Rayan membuat sahabatnya itu melotot.

"Gelud yoklah! Tangan gue gatel tahu enggak?" ajak Rayan seraya melinting lengan seragamnya.

Yonda menyengir. "Jangan dong. Ini di sekolah."

"Cimen lo s*alan!"

Yonda mengangkat satu alis. "Sekolah tempatnya kita ...."

"Gelud."

"Salah beg*!" Yonda menjitak dahi Rayan sarkas dan ia mendapatkan balasan yang sama. "Yang bener ... sekolah tempatnya kita belajar."

Rayan berdecih. "Sok bijak lo s*tan! Biasanya juga tiap ada materi lo molor mulu, itu belajar yang lo maksud?"

Yonda tergelak. "Sabar ... masih pagi."

"Ck. Kantin ajalah, cuci mata bentar." Setelah meletakkan tas di atas meja, Rayan bergegas menuju kantin sekolah karena bel masuk masih lama berbunyi.

***

Wanita itu mendengkus, sejak tadi hanya mondar-mandir di depan kursi kusam itu, tidak bisa pergi ke mana-mana.

Argh! Raden s*alan! Sekarang ia terjebak di ruangan sempit berdebu dan remang ini. Ia mengacak-acak rambut kesal, memakai baju tidur berbahan tipis membuatnya kedinginan.

Bisa gila ia bila di dalam sini terus-menerus dengan dihantui harapan palsu oleh iblis semacam Raden. Ah, seharusnya rencana awal tidak diubah dengan begitu ia tidak perlu berakhir seperti ini.

Wanita itu menggedor-gedor pintu lagi.

"Woy buka! Buka s*tan! Buka bang**t! Bukain pintunya! Gue bukan burung yang bisa lo kurung anj***! Raden s*alan! Iblis D*jjal lo kamp***!"

Tidak henti-henti wanita itu meneriaki umpatan untuk orang yang kini entah ada di mana. Rumah sebesar itu kini sepi karena penghuninya pergi dan tersisa hanya tinggal wanita itu di ruangan sempit penuh debu.

Berjam-jam ia berteriak dan menggedor-gedor pintu, tetapi tidak ada hasil, akhirnya ia memilih duduk meringkuk, memeluk dirinya sendiri, menjadikan pintu sebagai sandarannya.

"Raden s*alan! Dasar anak s*tan! Awas aja kalo dia pulang, gue hajar dia sampe mampus!" gumamnya dengan dada naik-turun, ia melirik buku tangan yang memerah terluka, terasa perih, tetapi tidak ia rasakan.

Ke mana Raden? Kenapa cowok itu melarangnya untuk ke luar? Kenapa cowok itu mengurungnya?
Wanita itu menekan pelipis kiri yang berdenyut, tenggorokannya kering, hasratnya bergejolak. Kedua tangannya gemetar dan matanya mulai memerah.

Obat, dia butuh obat itu! Dia bisa mati tanpa obat itu, tidak-tidak! Dia tidak akan mati di sini, dia belum bisa mendapatkan apa yang ia kejar selama hidupnya.

Wanita itu mengedarkan pandangan, dia mengharapkan benda itu ada di sekitar sini. Namun, nihil. Hanya sawang-sawang dan beberapa tumpukan kardus juga kertas yang ada di dalam sana.

Semakin menggigil dan napasnya semakin tercekat. Tidak! Dia bisa mati tanpa obat itu. Tanpa sengaja dan di saat ia hampir putus asa, benda serbuk putih di dalam plastik kecil berbentuk persegi itu ada di atas tumpukan kertas.

Kedua sudutnya tertarik. Akhirnya ada harapan, ia masih bisa bertahan ... setidaknya sampai dua hari ke depan. Perlahan ia merangkak menuju tumpukan kertas itu lalu berusaha meraihnya dengan susah payah.

Peningnya semakin menjadi, tidak! Dia harus kuat.

Saat mendapatkan benda bubuk putih itu, dia tersenyum senang dan terburu-buru menyesapnya. Saat itu juga, keadaannya mulai membaik.

"Awas aja lo bang***! Mampus lo gue buat nanti."

***

Hai, Guys! I'm comeback. Gimana sama bab ini? Hehehe semoga suka ya^^

SEE YOU ~

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Where stories live. Discover now