Bab 70 - Belum ketemu juga?

28 8 9
                                    

Gibran dan Fatimah telah sampai di Jakarta, tepatnya di rumah lama mereka yang kini masih terlihat sepi sebab belum laku terjual. Sudah beberapa bulan tempat itu ditinggalkan hingga terlihat usang dan tak terawat.

Jujur saja, Gibran tidak ingin pindah dari rumah hasil warisan sang ayah, hanya saja ia terpaksa pindah dengan alasan demi Jennie.

Gibran mencintai putrinya dan akan memberikan segalanya bahkan melakukan yang terbaik untuknya hanya saja, Jennie belum tahu itu. Jennie hanya menganggap ayahnya egois, jahat dan tidak berperasaan.

Oke, Gibran menerimanya, tetapi ia tidak menyangka putrinya akan senekat ini hanya karena tidak ingin masuk pesantren.

Pria itu memijit pangkal hidung dengan tangan kanan. Ke mana lagi ia akan mencari? Istrinya sudah pergi ke tetangga-tetangga terdekat dan tidak menemukannya juga.

"Coba ke tempat temennya, Jennie. Siapa tuh? Adiknya Ojol." Dahi Fatimah mengerut, mencoba mengingat nama seorang gadis yang pernah ia lihat di depan gerbang sedang mengobrol dengan anaknya.

"Siapa? Memangnya kamu tahu di mana?" tanya Gibran yang kini mulai frustasi.

"Mungkin Rayan tahu, Pah. Ayo ke sana!" Merasa ada harapan, semangat mereka kembali hadir menerbitkan seulas senyum.

***

"Apa? Jennie kabur?" kata Hawa--ibunya Rayan--dengan tatapan syok, respons itu yang didapat oleh Gibran dan Fatimah setelah menceritakan perihal hendak memasukkan Jennie ke pesantren dan kaburnya ia.

Hawa melirik Rayan di samping. Anak itu tampak tenang walau dalam rautnya menunjukkan kegelisahan. Apa dia pernah bilang, bahwa ia menyukai Jennie dan menyayanginya sejak kecil?

Rasa khawatir akan takutnya kehilangan sosok yang kita sayang adalah suatu hal wajar yang dialami oleh Rayan. Namun, Rayan tidak yakin sudah sepenuhnya membenci Jennie hingga mulai tumbuh benih-benih dendam. Buktinya, kenapa sekarang ia cemas?

Seharusnya jikalau memang Rayan membenci Jennie dan ketika mendengar gadis itu kabur, dia akan senang, mungkin dengan begitu keluarga Jennie akan hancur. Apalagi bila Jennie tidak segera ditemukan dan tidak kembali sama sekali.

Diriuhnya ruang tamu itu hanya karena hilang ide untuk mencari di mana keberadaan Jennie membuat Rayan gagal fokus, hingga pertanyaan Fatimah membuatnya mendongak.

"Ada yang tahu rumahnya Ojol langganannya Jennie dulu? Adiknya ojol itu temannya, mungkin dia tahu kepergian Jennie atau mungkin Jennie ada di tempatnya?"

"Rayan tahu, Tante." Kini hening melanda, pandangan mulai berpusat pada Rayan. Cowok itu kini bangkit berdiri. "Rayan bantu nyari Jennie."

Jawaban itu membuat Fatimah tersenyum haru dan membuat Gibran tersenyum. Untuk masalah Azra dan Reza, mereka sudah menyelesaikannya dengan damai hanya saja ayah Rayan masih dongkol.

Ayahnya Rayan masih bekerja, ada kemungkinan besar ia lembur hingga larut malam, sehingga ia tidak ada di rumah sore itu.

"Ayok! Tunggu apa lagi, kita ke sana sekarang!" ucap Gibran yang kini mulai berjalan menuju pintu, ia abai dengan kondisi fisik yang mulai melemah itu. Seharian ia belum makan dan tidur membuat stamina tubuh tuanya terkuras.

Saat Fatimah dan Gibran keluar ruangan dan berjalan duluan menuju mobil, Hawa mencegat anak tirinya yang mulai melangkah menuju pintu.

"Kenapa, Bu?" tanya Rayan dengan kedua alis terangkat.

Wanita itu mengernyitkan dahi. "Kok kamu secemas ini? Padahal waktu adik kamu yang hilang, kamu sans aja, tapi kalo orang lain kok begini?"

Bibirnya kelu, ia tidak dapat mengatakan yang sebenarnya. "Itu ... mungkin sekarang Rayan gabut."

Jawaban yang terdesak, logis atau klasik?

Entahlah, Hawa tidak ingin Rayan salah langkah, walaupun ia bukan yang mengandung dan melahirkan anak itu, tetapi kasih sayangnya sama besarnya dengan anak kandungnya sendiri hanya saja caranya berbeda.

Hingga punggung Rayan menghilang di balik pintu, pikiran buruk mulai menguasai Hawa. Wanita itu menghela napas pasrah.

"Demi apa? Semoga jalannya sudah benar."

***

Di dalam bus, Jennie yang awalnya merasa janggal semakin merasa aneh. Pasalnya sopir bus itu tadi tidak berkata sepatah kata 'pun, bahkan kelihatan seperti robot.

Tidak mungkin seorang sopir bus yang tampak tidak memperhatikan penumpangnya 'kan? Tidak mungkin juga seorang preman yang baru insaf?

Ada satu keanehan lagi, jalannya sudah salah, ini bukan mengarah ke luar kota, tetapi seperti ke pusat kota. Apakah Jennie salah naik bus? Ah, sepertinya yang keliru adalah sopir itu.

"Pak? Permisi! Hallo! Kita mau ke mana?" tanya Jennie yang kini sudah kesal.

Sopir itu diam. Apakah ia tuli atau dia memang tidak mendengar ucapan Jennie mengingat jarak mereka cukup jauh. Gadis itu merambat ke kursi dekat sopir, walaupun dengan sedikit mengomel.

"Pak! Permisi!" sapa Jennie lagi dengan suara agak keras. Bahkan tangannya berusaha meraih bahu kiri sopir itu.

"Iya? Kenapa, Dik?" tanya sopir itu tanpa menoleh dan suaranya mampu membuat Jennie mematung.

Suaranya, kek kenal dan kek pernah denger? Tapi di mana? batin Jennie mulai mengernyitkan dahi. "Maaf, kita mau ke mana?"

Sopir itu terkekeh kemudian tergelak membuat Jennie mulai bergerak waspada, ia tahu ada yang tidak beres. "Katakan!" ucap Jennie penuh penekanan, kini ia tahu betul siapa pemilik suara itu.

"Jennie, Jennie. Katanya anak militer, tapi otak pendek. Dasar." Cowok di balik kemudi dan topi kuning yang melekat itu mampu membuat Jennie menghujamkan tatapan maut.

"Gue tahu, ada yang aneh, sejak awal gue masuk dan gue tahu, gue kenal sama lo ... Karim," kata Jennie dengan kedua tangan yang mulai mengepal. Kini jelas, cowok di sekolahnya yang merupakan cowok dungu, urakan enggak bagus-bagus amat itu ternyata punya niat jahat padanya.

Cowok itu tergelak. "Kebangetan kalo lo enggak kenal sama gue, Jen." Dia tersenyum miris.

Jennie mendengus sinis. "Siapa yang bisa lupain orang yang selalu berambisi buat deketin elo dan bikin lo kesal sepanjang hari? Gue udah seneng lo sempet hilang dari pandangan di sekolah, tapi kenapa sekarang gue harus ketemu lo lagi?"

Percayalah, mereka mengobrol tanpa saling tatap, makannya mereka tidak pasti tahu mimik masing-masing. Mereka mengandalkan insting saja.

Karim menggeleng. "Gue bukan hilang, tapi menghindari, karena gue tahu dapetin lo itu susah. Ibarat beribu bintang di langit dan lo adalah salah satunya, sedangkan gue adalah setetes air di bumi. Kita enggak akan bersama, jauh banget."

Jennie melipat lengan di dapan dada, menyandarkan punggung ke kursi itu. "Dan lo baru nyadar sekarang?" tanyanya dengan nada meremehkan.

"Iya, sayangnya gitu. Nyadar di saat lo nyakitin gue."

"Sadboy?" Satu alis Jennie terangkat, hampir saja tergelak. Ada-ada saja, Jennie saja selalu mengacuhkan cowok itu dan dengan bodohnya Karim masih saja mengejarnya.

"Gue capek ngejar lo terus, kek angin tahu enggak? Dekat, tetapi mustahil 'tuk diraih."

"Suruh siapa lo ngejar-ngejar? Anjing tetangga gue juga pernah ngejar-ngejar dan nasibnya berakhir kayak lo, menyerah."

Karim mengeratkan cengkraman di stir. Jujur, ia sebenarnya ingin menghabisi gadis sok seperti Jennie, hanya saja, ia masih membutuhkan hal lain.

Menarik napas lalu membuangnya perlahan adalah salah satu solusi untuk mengurangi emosi. "Karena lo udah nyia-nyiain perjuangan gue, lo bakal tahu akibatnya." Kini senyum miring menghiasi wajahnya.

Jennie tidak tahu rencana apa yang dibangun oleh cowok ambisius seperti Karim ini, yang ia tahu, ia dalam zona merah.

***

Semoga ada yang vote ya Allah, aamiin. ☺

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu