Bab 29 - Tidak Biasanya

7 3 0
                                    

Hai! Sorry ya baru up😭 ada ide tapi males nulis makannya enggak up:"

***

"Pah, nyawa Jennie terancam."

Gibran menghentikan pergerakan tangan kanan yang hendak mengambil remot televisi saat indera pendengar menangkap suara putri sulungnya yang baru saja mendaratkan bokong di samping sofa yang ia duduki.

Jennie pikir, Gibran akan panik lalu mencercanya dengan berbagai pertanyaan cemas juga sibuk untuk menelepon polisi supaya putri sulung satu-satunya ini dapat selamat, tapi kenyataannya, respon sang papa dapat membuat mulut Jennie menganga.

"Kamu memang selalu menantang ajal kok sejak kecil, jadi papa enggak heran kalau nyawa kamu terancam, toh kalau kamu meninggal papa bisa buat lagi kok sama, Fatimah."

Punya, papa, gini amat, batin Jennie kesal. "Jennie, serius, Pa! Papa, enggak takut apa kalo anak perempuan satu-satunya ini mati secara tak terduga? Mati, Pa, bukan pingsan! Mati! Apa, Papa, enggak takut, Jennie, ilang? Papa, sesantai ini?" Jennie berkata dengan geram, sungguh tangan kanannya sudah gatal ingin menyentil ginjal sang papa, tega sekali papanya itu.

Gibran mengernyitkan dahi sekilas. "Ngapain papa setakut itu? Kan, sudah papa bilang, kalau kamu meninggal papa bisa bikin lagi sama, Fatimah," jawabnya yang sukses membuat Jennie tidak habis pikir.

"Papa, jangan becanda!" rengek Jennie kesal sebelum memukul pelan tulang kering papanya.

"Ya, siapa yang bercanda? Kan, papa, serius." Tanpa menghiraukan tatapan kesal Jennie, Gibran kembali fokus dengan remot televisi yang ada di genggaman kemudian ibu jarinya menari-nari di atas tombol.

"Papa, mah." Jennie berdiri. "Enggak perduli!" Kemudian ia melenggang pergi dengan perasaan campur aduk antara kesal, marah, cemas dan takut.

Lebih baik dia bicarakan masalah ini ke Fatimah, pasti wanita itu akan membantunya menemukan siapa pelakunya.

Gibran yang menyadari kepergian sang putri pun menghela napas. Dia menghentikan ibu jari yang menekan tombol remot kemudian meletakkan benda itu di atas meja.

Gibran merapatkan punggung ke sandaran sofa kemudian pandangannya menerawang ke langit-langit. "Ya Allah, apalagi ini?"

***

"Bun--"

"Ah, iya, Bu. Saya kemarin yang membantu persalinan, Bu Aisyah." Fatimah mengangkat tangan kanan saat Jennie hendak menyela percakapan via teleponnya dengan temannya.

Akhirnya Jennie memilih bungkam dengan helaan napas kasar berkali-kali, dia duduk lesehan di ubin kamar Fatimah. Matanya mengamati sang bunda yang sedang asik menelepon itu dengan kesal.

Oh, ayolah, nyawa anaknya dalam bahaya, apa bundanya tak tahu hal itu?

"Bun ..." Lagi-lagi perkataan Jennie harus berhenti sebelum selesai karena Fatimah malah berlalu dari kamar dan mengacuhkan anaknya itu.

Aargh! Ingin sekali gue nendang sesuatu! Apa ya yang bisa gue tendang buat jadi pelampiasan? batin Jennie kelewat kesal. Matanya teredar sampai ia menemukan sebuah gucci antik yang seakan-akan sangat menggoda untuk dihancurkan menggunakan tendangan maut dari Jennie Dinawanti.

Ah, tapi kalo gue tendang, bunda kesurupan terus gue ditendang lagi dari rumah ini, karna, kan, itu gucci antik banget dan sangat bunda sayang seperti anak sendiri, batin gadis itu.

***

"Bun, papa mau berhenti jadi militer."

Perkataan Gibran membuat Fatimah mengernyitkan dahi dan menghentikan langkah untuk mengurungkan niat yang semula hendak pergi ke rumah sakit, tapi begitu mendengar suara sang suami, dia langsung mendudukkan diri di samping pria itu.

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Where stories live. Discover now