PROLOG

197 16 36
                                    

Suara sirine mobil polisi masih bergema di depan sebuah gedung dengan cat krem yang tampak masih baru. Dari dalam kendaraan beroda empat tersebut seorang gadis keluar bersama polisi yang berjaga dan membelenggu tangannya meski sudah terkunci dengan borgol besi.

Wajahnya lesu, rambutnya berantakan seolah tak terawat, tubuhnya pasrah saja di seret masuk ke dalam gedung yang biasa disebut kantor polisi itu tanpa memberikan perlawanan.

"Jingga!"

Langkah mereka terhenti termasuk si gadis yang sedang penuh penjagaan. Lelaki yang baru saja datang dengan napasnya yang ter engah itu mendekat pada gadis tersebut usai meneriaki namanya.

"Jingga bilang sama gue, lo nggak ngelakuin itu kan? Karena kalau iya, gue bakal marah sama lo seumur hidup gue!" Lelaki itu mengguncangkan tangan si gadis yang masih terborgol. Matanya menyorot meminta jawaban yang menurutnya benar.

Bibir gadis itu bergetar, dalam raut kacaunya dia berusaha mengukir senyum hingga mata lesunya berkaca-kaca. "Kalau gitu, benci gue, Lang."

Polisi kembali membawa gadis yang kerap disapa Jingga itu melangkah ke sebuah tempat di dalam sana. Meninggalkan lelaki tadi yang bahkan tak sanggup kembali berujar sepatah kata pun.

Sampailah mereka di depan ruang dengan pintu besi yang tertutup. Lantas polisi tersebut menyuruh Jingga untuk masuk ke dalam sana, menemui polisi lain yang bertugas menginterogasi.

Langkahnya terseret lemah, namun ia tetap berusaha tegar dan segera duduk di satu-satunya kursi yang berhadapan dengan sosok yang kemungkinan akan mempertanyakan mengenai kasusnya termasuk motif yang mendasarkan.

"Chalondra Jingga Haspira."

Jingga meneguk ludah susah payah, namun matanya menyorot datar juga wajahnya yang tak memiliki ekspresi. Ia sudah terjebak disini sekarang, dengan alasan apapun juga, dengan mengelak sepandai apapun dia, tetap saja hukum pasti akan membuatnya berada di jeruji besi setelah ini.

"Kamu-"

"Iya pak, saya yang ngelakuinnya."

Pak polisi tersebut nampak terkejut ditandai kedua alisnya yang terangkat. Namun kemudian dia terkekeh sambil menggelengkan kepala.

"Saya rasa kamu anak yang jujur, predikat kamu yang berprestasi di sekolah sepertinya bukan omong kosong."

"Bapak mau tanya motif saya kan?" tanya Jingga tanpa ingin basa-basi. Dia sudah merasa muak dan segera ingin mengakhiri ini secepatnya. Toh, kalau dipikir-pikir hidupnya tidak sebagus itu untuk menjadi alasan dia segera bebas dari sini.

Lelaki paruh baya itu berdeham, mengembalikan wibawanya. "Jadi, apa alasan kamu membunuh saudari Hanna?"

Jingga menatap datar dengan wajahnya yang nampak mengerikan dengan aura kejamnya yang muncul tiba-tiba. "Ada dua hal yang saya benci di hidup saya. Pertama, ketika saya disuruh untuk melakukan atau menjadi sesuatu yang bukan tujuan saya. Dan-"

Gadis itu memajukan kepalanya hingga sejajar dengan polisi tersebut, serta menunjukkan raut penuh kebencian.

"-saya nggak suka kekalahan."

π

Enak kayaknya tiba-tiba nyanyi sweet but psyco hahaha

Udah ngaredegdeg belom di prolog inii

Penasaran nggak? Penasaran nggak?

Hehehe

Selamat membaca cerita ke lima nda!
Terima kasih sudah membaca, apalagi yang vote dan komen, makin lofee bat dah

Sampai jumpa di part selanjutnya!
Dadah!
-nda.

Langit Untuk JinggaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora