3π • LuJ

86 14 52
                                    

Bab 3
-Hukuman-

π

Seragam putih abu terbalut dalam tubuh sosok laki-laki yang mengalihkan tujuan kemana seharusnya kakinya melangkah di waktu sepagi ini. Bahkan mentari pun masih malu-malu untuk menunjukkan eksistensinya.

Ya, harusnya untuk ukuran pelajar seperti dia sudah bersiap diri di sekolah pagi-pagi begini. Bukannya meniti langkah sendirian ke sebuah tempat pemakaman umum yang memiliki beberapa komplek pembagi, hingga membuat penghuni baru mungkin perlu adaptif di sana.

1209

1210

1211

Tepat ketika matanya menemukan empat angka yang dia cari, langkahnya terpatri mendekat ke papan angka itu lantas menyusuri deretan makam di belakangnya yang hampir tiada beda. Hanya nama, tanggal lahir juga tanggal akhir hidup yang membedakannya.

"Udah enam tahun aja ya pa?"

Tanpa banyak berpikir, dia duduk di sisi kanan salah satu makam tempat papanya bersemayam. Jemarinya mengusap nisan bertuliskan nama mendiang laki-laki yang paling dia sayangi di dunia.

Dia menarik sudut bibirnya dengan sorot mata sendu.

"Maafin Langit ya pa? Langit belum bisa tuntasin amanat papa. Tapi Langit janji semuanya bakal selesai. Langit pastiin kalau yang bersalah, harus dihukum."

Dalam posisi yang sama, cowok itu memutar sedikit tubuhnya, setidaknya agar dia bisa melihat makam yang bersisian dengan makam papanya; peristirahatan terakhir mamanya.

Langit terdiam sejenak menatap ke arah sana, merasakan matanya yang memanas akibat ingatan sepintas masa dulu. Tentang hal yang membuat Langit bahkan tak sanggup mengatakan kerinduan. Penyesalan seumur hidup yang menghantuinya setiap mengingat bagaimana sosok ibu meninggalkannya dari dunia.

Matanya terpejam sesaat, kemudian beralih pandang kembali pada nisan papanya.

"Pa, Langit kangen."

π

Jingga mengetukkan jemarinya dengan mimik risau yang begitu jelas. Sudah masuk jam pelajaran ketiga tapi Langit yang biasanya sudah berkicau sebagai pembuka harinya, belum juga dia lihat hingga detik ini.

Padahal bunda-nya Langit bilang cowok itu sudah berangkat duluan sewaktu Jingga tanya. Tapi kemana Langit bolos sekarang?

"Chalondra!"

Jingga tersadar ketika nama depannya terpanggil dengan nada tinggi. Dia mendongak ke meja guru dimana Bu Aini tengah menatapnya lurus.

"Kamu nggak memperhatikan pelajaran saya, memangnya kamu udah ngerti?" sindir guru mata pelajaran seni yang khas dengan jepit tipis berwarna hitam di pinggir kanan rambutnya.

Gadis itu diam tak berani berspekulasi.

"Coba kerjakan soal di papan tulis, dengan caranya yang rinci."

Jingga bangkit dan mematri langkahnya ke depan kelas tanpa melakukan negoisasi. Jemarinya meraih spidol hitam yang disediakan Bu Aini. Ia menatap angka, variabel, serta simbol yang tertata di hadapannya.

Tak perlu banyak berpikir, gadis itu menyelesaikannya dengan baik kelima soal yang menunggu jawaban.

"Sama-sama, Bu."

Langit Untuk JinggaWhere stories live. Discover now