39π • LUJ

11 3 0
                                    

Bab 39
-Chimmy-

π

Sepiring plastik berisi dua buah sosis jumbo bakar, terulur di depan wajahnya, menginterupsi kegiatan termenungnya yang telah menguasai diri sejak tadi. Ternyata berada di tempat ramai seperti ini, tak sedikit pun mengurangi rasa stres atas pikirannya yang ruwet akan masalah.

Setelah menyudahi berbincang sedikit dengan Grey dan Oliv, Langit mengajak Jingga pergi dengan motornya. Ya, motornya. Motor yang semula ia parkir di daerah kondominium pak Herman, telah kembali padanya setelah menyuruh Arga yang juga tinggal di sana untuk membawakan untuknya.

Soal kunci? Entah bagaimana, kunci motor milik Arga bisa cocok dengan motor milik Langit, sebab itu ia merasa agak beruntung dalam hal ini.

Kini mereka berada di tepi love park, Langit yang membawanya ke sini entah apa tujuannya. Tapi pemandangan banyak orang yang melempar tawa serta kebahagian memang cukup membuat Jingga iri, tapi sebuah penghiburan juga untuk dirinya yang hampir tak pernah bahagia.

"Lo belum makan 'kan dari tadi? Mau gue beliin nasi aja apa gimana?" tawar cowok itu yang masih bersedia berdiri, kalau-kalau Jingga meminta sesuatu lagi.

Tapi gadis itu membalas dengan sebuah gelengan, yang membuat Langit turut serta duduk di sebelah kanannya. "Gue juga nggak nafsu makan," katanya sambil mengangkat tusukan dari sosis itu dan mengamatinya sambil memutar-mutar tusukannya.

Sebuah decakan berasal dari mulut Langit membuat Jingga melirik pada cowok itu. "Bilang aja kalo mau disuapin! Gue tau, disuapin sama cowok ganteng kayak gue itu menambah nafsu makan sebanyak tiga kali lipat, selain itu, makanan yang dimakan jadi makin enaaaaak bangeett."

Jingga segera menggigit sosis itu, mengunyahnya dan mengacungkan ujung tusuk yang terlihat, pada Langit. "Sekali lagi lo ngomong gitu, Lo bikin gue makin gamau makan tau nggak?" Ia kembali melahap kemudian berbicara disela-sela makan. "Dan kalo gue udah gamau makan, terus sakit, terus mati, elo yang salah!"

"Buset jauh amat sampe kesana!"

"Iyalah!" Jingga mendelik kemudian kembali menghabiskan makanan yang diberikan Langit meski mulutnya terasa hambar.

Langit yang juga membeli jenis makanan yang sama pun ikut melahap makanannya. Hanya ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya sebuah tanya kembali menengahi.

"Eh, terus itu topi lo gimana? Lo mau nemuin pak Herman?" tanya Langit penasaran.

Jingga menghembuskan napasnya kasar. "Ya enggaklah! Lo pikir gue mau masuk kandang harimau kelaparan?"

Langit menjentikkan jari seolah mendapat ide. "Oh, atau besok kita nggak usah sekolah aja gimana? Biar nggak usah ikut pemeriksaan?"

Sebuah gelengan menolak ide cowok itu mentah-mentah. "Gue kasih tau alasannya. Satu, kita mungkin bakal dicurigain kalo nggak sekolah. Kedua, lo nggak liat apa kalo infonya tuh, yang nggak masuk sekolah juga dicari sampe ketemu. Kalo dirumahnya ya disamperin ke rumah, kalo lagi diluar pun di cari kemana perginya."

"Ck,ck,ck," Langit menggeleng tak habis pikir, "sampe segitunya ya?"

Jingga mengedikkan bahu acuh. "Gue juga heran, kalo gini jadinya kan dia jadi nunjukin kekuasaannya banget. Emangnya nggak masalah ya, gimana kalo kejahatan lainnya ikut kebongkar?"

Langit tak menanggapinya, ia kembali pada pertanyaan semula. "Terus jadinya rencana lo besok gimana?"

Jingga menarik napas berat. "Ya gimana lagi? Ikutin aja permainannya. Gue cuman bisa berdoa semoga keberuntungan ada di pihak kita." Jari telunjuknya mengarah pada wajah Langit dengan tatapan mewanti-wanti. "Awas ya lo kalo sampe keceplosan! Gue botakin alis lo!"

Langit Untuk JinggaWhere stories live. Discover now