5π • LuJ

62 13 28
                                    

Bab 5
-Fajar-

π

Tak ada hal lain yang Jingga pikir saat itu selain menebak makian apa yang kiranya cocok keluar dari mulut papanya ketika anak gadisnya keliaran malam hari.

"Tenang Jing, ada gue."

Jingga tak memedulikan kalimat penenang Langit yang sama sekali tak membantu. Dia sudah tahu akhirnya akan seperti apa, keberadaan Langit yang berniat memberi penjelasan nyatanya tak membuat papanya urung untuk membahas ini setelah Langit pergi.

"Pa—"

"Masuk," ujar Dery—papa Jingga dengan dingin.

Langkah yang sempat terhenti beberapa meter dari pintu masuk di mana Dery berdiri di sana dengan wajah tak bersahabat itu, pun segera dipercepat masuk ke dalam sana. Bahkan tak sempat untuk melambai pada Langit sebagai bentuk perpisahan.

Yang Jingga tahu, Dery langsung masuk dan menutup pintu beberapa detik setelah dia masuk. Tapi kemungkinan besarnya, tak ada pertukaran dialog antara papanya itu dengan Langit.

"Duduk."

Jingga langsung duduk di sofa ruang tamu serta menunduk sekaligus.

"Dari mana kamu keluar malem begitu? Mau jadi anak berandal kamu?!"

"Enggak pa. Jingga abis beli nasi goreng."

"Ini harus jadi kali terakhir kamu pulang malem, mana nggak ijin pula."

"Iya pa."

Jingga meneguk salivanya, mulai bisa menghela napas lega sedikit. Ini tidak seburuk sebelum-sebelumnya. Sepertinya dewi fortuna berpihak padanya kali ini.

"Bu Neni bilang, Lucas pake hak imun kamu lagi." Dery menjeda kalimatnya sejenak sebelum akhirnya meninggikan nada bicara. "PAPA UDAH BILANG BERHENTI BERTEMEN SAMA DIA, KAMU NGGAK NGERTI-NGERTI JUGA? DIA CUMA MANFAATIN KAMU!"

Jingga terdiam, tak mengiyakan maupun tak menyanggah. Sementara membiarkan kuku jemarinya beradu lagi untuk kedua kali di hari ini.

"DIA ITU BAWA PENGARUH BURUK! CUMA BISA GANGGU JALAN MASA DEPAN KAMU!"

"Iya, pa."

"JANGAN IYA-IYA AJA KAMU! DARI KEMARIN-KEMARIN JUGA KAMU BILANG IYA TAPI NGGAK NURUT SAMA PAPA!"

"Iya, pa," ulangnya lagi.

Dery menghembuskan kasar napasnya, memijat batang hidungnya perlahan dengan tujuan berusaha meredakan emosinya.

"Papa juga denger soal Bintang Cakrawala. Kamu jadi salah satu kandidatnya kan?"

Jingga mengangguk perlahan.

"Bagus," tandasnya. "Kamu harus tambah jam belajar lagi. Gimana caranya kamu harus dapet predikat itu. Jangan bantah papa. Papa yang paling tau apa yang terbaik buat kamu."

Tak ada jawaban dari Jingga yang bahkan belum memiliki keberanian untuk mendongak menatap papanya sendiri. Toh percuma juga, papanya tak pernah butuh jawaban darinya selain jawaban patuh; iya.

"Tinggal sedikit lagi kelulusan, jangan buat kesalahan. Jangan biarin ada orang yang ngalangin jalan kamu, termasuk si Lucas itu."

"Iya, pa."

Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan, soal melanggar itu urusan nanti. Apalagi soal rencananya memberikan beasiswa itu pada Langit jika dia mendapat predikat Bintang Cakrawala. Jika sampai papanya tau—

Persetan lah, sekalipun dia harus mati di tangan papanya.

π

Sebungkus keripik kentang sudah siap di tangan, sedangkan botol berisikan air mineral juga tersedia di sisi kirinya. Kedua itu sudah cukup menjadi teman Jingga untuk menonton permainan tim futsal sekolahnya di jam istirahat kedua.

Langit Untuk JinggaWhere stories live. Discover now