9π • LuJ

40 13 27
                                    

Bab 9
-Backing-

π

Mata gadis itu terbuka sepenuhnya, dengan jantung yang berdegup sebegitu menakutkan, juga keringat yang membasahi hampir sekujur tubuhnya. Untuk kesekian kali, dia bangun dengan rasa takut.

Meski begitu, dia berharap lebih baik tidak terbangun dari tidurnya sekalipun itu buruk. Karena kehidupan nyatanya pun tidak sebaik itu untuk berlindung.

Mimpi itu datang lagi. Lagi-lagi dia hanya mendengar suara-suara asing yang menghantuinya, juga pemandangan halte yang kemarin ia datangi.

Tapi tunggu, ada satu lagi hal yang dia lihat di sana. Sosok pria yang bersimpuh di lantai tengah memunggunginya. Sesalnya, tak sempat melihat wajah pria itu sebelum dering weker membuatnya terbangun.

Ini membuatnya jelas semakin gila. Apakah ini memang berkorelasi satu dengan lainnya, atau hanya sebuah sugesti?

Entahlah.

"Kakak baru pulang semalam."

Satu kalimat pembuka di meja makan pagi ini. Dengan suasana yang agak berbeda, karena hari ini ada pertambahan penghuni sesuai yang dikatakan mamanya; kakaknya.

"Kamu tau Axel? Adekmu itu udah mulai sering membangkang. Coba kamu bilangin itu adekmu," kata Dery seraya mengedikkan dagunya kepada Jingga yang duduk berhadapan dengannya di meja makan.

"Jingga, lo tau kan hidup itu ada aturan? Mau jadi apa lo kalo ngelawan papa? Jadi gelandangan? Biarin aja pa, kalo dia nggak nurut, nggak usah dipeduliin lagi!"

Gadis itu terdiam, menyibukkan mulutnya hanya untuk mengunyah suapan demi suapan nasi goreng buatan mama.

Bagian paling sesaknya ketika dia mengingat, bagaimana perlakuan papanya kepada kedua anaknya itu sangatlah berbeda. Papa jauh lebih keras kepadanya. Mungkin itulah yang membuat kakaknya—Axel bisa berbicara seenteng itu, karena tidak pernah merasakan di posisinya. Axel selalu jadi anak yang paling disayang, dibanggakan. Sedang Jingga? Apa pun yang Jingga lakukan tidak pernah membuat keluarganya bangga, bahkan dengan segunung prestasi sekalipun.

"Papa nggak bakal biarin kamu mencoreng nama keluarga kita. Anak yang lahir dari keluarga ini harus sukses dulu, baru bisa pergi dari rumah. Setelah itu, hidupmu, terserah kamu. Papa nggak peduli."

Jingga merasakan getir dalam hati, menahan sebisanya semua rasa sesak yang ingin sekali meledak.

"Makan yang banyak Axel, nanti buat makan siang, mama buatin makanan kesukaan kamu ya?" tawar Sintya—mama Jingga dengan hangat.

Axel mengangguk senang, terlebih ketika Dery menepuk pundaknya dengan senyum kebanggaan.

Drrtt

Ponsel Jingga bergetar dari saku, diam-diam dia mengeluarkannya—menyembunyikan di bawah meja, lalu membaca isi pesan yang baru saja masuk.

Langitnya Jingga:

Ayo berangkat, gue di depan.

Membaca pesan itu sedikit membuatnya lega, Jingga mendongak setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku rok. Lalu bangkit dari tempat duduk.

"Jingga berangkat, ya?"

Mereka yang nampak masih sibuk berbincang dengan Axel tanpa memedulikan keberadaannya lagi, membuat Jingga menghela napas kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat paling memuakkan baginya.

Langit Untuk JinggaWhere stories live. Discover now