4π • LuJ

73 13 36
                                    

Bab 4
-Mimpi-

π

Dengan persepsi demikian, Jingga kembali menimang-nimang. Penampilan gadis urakan yang dia temui kemarin berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Hanna si mantan Langit ini.

Cewek kemarin itu mengenakan tiga gelang hitam di pergelangan tangan kirinya, polesan wajah yang nyentrik dengan lipstik agak merah, tindik anting di cuping telinga atas, serta sepatu boots yang menarik perhatian.

Tapi gadis yang dia lihat sekarang, definisi cewek idaman yang kalem, rapi, dengan senyuman manis yang melengkapi wajah cantik bak bidadarinya.

Apa mungkin Jingga salah lihat?

"Tutup kuping, Jing."

Jingga melirik Oliv tak mengerti. Stres. Kedua tangannya dia gunakan untuk menutup telinga Jingga.

"Ngapain?"

"Kita nggak boleh nguping, Jingga."

Mendengar alasan tak berbobot itu membuat Jingga menatap Oliv tak habis pikir sembari melepaskan kedua tangan gadis itu dari indera pendengarannya.

"Baik, lo gimana? Udah nggak hobi nyoba bundir kan?"

Hanna tertawa renyah. Tersenyum penuh arti setelahnya karena rupanya Langit masih mengingat kebiasaan buruknya dulu.

"Agak berkurang sih, better lah."

Langit manggut-manggut. "Btw, lo sakit? Kok ke sini?"

Si gadis menepuk dahinya, seolah baru menyadari sesuatu yang hampir terlupakan. Dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan pertama.

"Enggak, tadi tuh gue nyari TU tapi salah masuk."

Tulisan segede gaban di depan pintu dia nggak bisa baca? Modus apa buta huruf?, Jingga menggerutu kesal dalam hati. Sedang matanya memicing tajam, tersirat pernyataan perang di sana.

"Mau gue anter ke TU sekalian?" tawar Langit yang begitu terdengar ramah.

Sudut bibir Hanna melengkungkan senyum sabit yang tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Lantas dia mengangguk cepat sebelum cowok itu berubah pikiran.

"Boleh."

"Yuk, gas!"

Langit bangkit segera dari tempatnya berbaring. Tak menunjukkan tanda-tanda bahwa cowok itu lemah seperti ketika dia berpura-pura pingsan tadi. Sial.

"Ngeri keluar api." Oliv mengibaskan tangannya ke arah kepala Jingga. Menyindir kekesalan gadis itu yang terlihat jelas dari caranya mencengkram tirai kuat-kuat.

Jingga menyingkap sepenuhnya tirai itu dengan kasar usai melihat langit melangkah keluar ruangan bersama Hanna. Kemudian keluar ruangan dengan langkah yang dihentak dan menatap punggung kedua manusia itu yang mulai menjauh.

"Kurang ajar."

"Kamu yang kurang ajar!"

Jingga memekik ketika telinganya dijewer tanpa aba-aba. Dia tak berani menoleh karena hapal betul suara yang menimpalinya ialah milik si guru matematik alias Bu Aini.

"Boongin orang tua ya kamu!"

"Enggak Bu, enggak!"

"Masih mau ngelak? Oalah, minta tak pelintir lagi iki."

"Aduuh!!" Jingga mengaduh kesakitan, dia berusaha menatap Oliv yang masih berada di dalam ruang unit kesehatan. Setelah beradu tatap, gadis itu mengisyaratkan Oliv dengan matanya yang bergerak bergantian ke salah satu brangkar yang berjajar, kemudian kembali menatap Oliv lagi.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang