21π • LuJ

22 13 9
                                    

Bab 21
-Ingatan-

π

Dengan mata menyipit takut-takut, Jingga berusaha menolehkan kepalanya hati-hati pada seseorang yang telah menyergapnya.

"Langit?"

Sontak mata Jingga terbelalak, mengalami keterkejutan yang lebih hebat dibanding ketika ia disergap. Satu-satunya yang menjadi topik penting dalam pergulatan kepanikan dalam pikirannya adalah bagaimana jika Langit mendengar semua yang dia katakan pada Hanna?

Apa mungkin ini akhir dari persembunyian perasaannya pada Langit?

Bodoh! Kenapa dia harus teriak-teriak seperti itu pada Hanna, tadi? Bagaimana jika Langit merasa risi lalu menjauhinya?

"Allahuakbar!" Langit mengusap wajah Jingga yang nampak tegang, seolah berusaha mengeluarkan jin jahat dalam tubuh gadis itu.

"Apaan, sih lo!" protes Jingga.

"Lagian melotot melotot, serem. Lo nggak melotot aja udah serem," cibir Langit.

Jingga memukul kasar bahu Langit. "Kurang ajar ya lo lama-lama!"

"Perasaan dari dulu."

"Iya juga, sih."

Melihat cowok itu cengar-cengir sendiri, Jingga mengerutkan dahinya hingga Langit yang lebih dulu angkat suara.

"Jigong, gue mau—"

"Apa?! Kalo lo mau tanya-tanya soal apa yang lo denger tadi, gue nggak mau jawab!" potong Jingga cepat sebelum Langit memperjelas kalimatnya. "Karena gue bohong, apa yang gue omongin tadi itu nggak bener!"

"Hah? Bohong?"

Jingga mengangguk kuat. "Iya, jadi nggak usah lo nanya-nanya. Gue bohong tadi."

"Eng—oke deh."

Mendengar tanggapan dan melihat reaksi Langit yang aneh, Jingga jadi merasa janggal. Lantas kembali memastikan seraya memicingkan matanya.

"Lo ngerti 'kan maksud gue tentang omongan yang mana?"

Langit menyengir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi lo nggak denger tadi gue ngomong apa di dalem?" tanya Jingga memastikan dengan telunjuknya yang menunjuk ke arah toilet tempatnya keluar tadi.

Dan lagi, Langit kembali menggeleng.

Gelengan yang melegakan bagi Jingga. Rahasianya kembali aman.

Jingga menghembuskan napasnya, kembali menatap wajah Langit yang masih nampak hilang akal dari apa yang sebenarnya Jingga coba katakan.

"Terus lo ngapain tadi ada di situ?" Lagi-lagi kecurigaan dalam diri Jingga pada Langit kembali membuncah. Kemudian dia memicingkan mata seraya mengacungkan telunjuknya pada Langit. "Lo mau ngintip cewek ya?!"

"Astagfirullahalazim... curigaaa terus bawaannya, heran." Langit mengusap dadanya sok tersakiti. "Tapi ide lo bagus juga, abis ini gue coba."

Tak bermisuh-misuh, Jingga langsung saja menjambak rambut Langit sebagai balasan dari niat mesumnya itu, walau dia tahu Langit tidak pernah serius dengan perkataannya.

"Aduh, aduh, udah! Sakit, Jing!"

Jingga melepaskannya begitu diminta. Kemudian bersidekap dada, menyaksikan Langit mengelus-elus kepalanya.

"Gue tuh kesini mau kasih tau lo, kalo gue ganteng." Jingga memelototi Langit yang membuat laki-laki itu segera meralat kalimatnya. "Maksudnya, gue mau ngasih tau kalo pengumuman pemeran drama udah diumumin, di mading. Makanya gue cari lo biar liat pengumumannya bareng. Eh ngeliat lo masuk toilet, ya gue tunggu di luar lah, malah dapet kdrt gue-nya."

Langit Untuk JinggaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt