23π • LuJ

25 13 12
                                    

Bab 23
-Playing victim-

π

Byurr!

"Huah!"

Laki-laki itu mengusap wajahnya yang tertumpah air, atau lebih tepatnya, ditumpahkan air yang mengejutkannya dari alam mimpi.

"Ngapain lo nyebut-nyebut nama gue? Bilang 'jangan' segala, mimpi aneh lo ya?!"

Dengan kondisi ala tikus tercebur got, di mana mengalami basah separuh badannya, Langit buru-buru bangkit dari posisi baringnya. Terkejut dengan kehadiran Jingga di kamarnya sekarang. Sebab selama lima tahun berteman, tak pernah sekali pun Jingga menginjak kawasan kamar tidur dengan nuansa abu milik Langit.

"Lo nggak terima si Fajar, kan?"

Tiba-tiba saja Langit mencengkeram sepasang bahunya dengan raut wajah panik meminta jawaban.

Jingga mengernyit. "Apaan, sih? Terima apa? Ngigo ya lo?"

Beberapa detik cukup mengubah ekspresi Langit seketika, cowok itu menghela napasnya ketika menyadari apa yang terjadi itu hanya sebatas mimpinya. Lantas ia melepaskan kedua tangannya dari Jingga, menjauh sedikit untuk menatap kasurnya yang basah akibat kelakuan Jingga.

"Rese lo, Jigong. Basah 'kan jadinya," gerutusnya kesal.

"Oh gue tau!" Tanpa menghiraukan kekesalan Langit, kaitan antara kata-kata ketika Langit mengigau dengan pertanyaan cowok itu barusan lebih menarik baginya untuk menyimpulkan. "Maksud lo 'jangan' itu, jangan terima si Fajar gitu?"

Jingga tersenyum meledek. "Emangnya kenapa kalo gue terima? Cemburu lo?"

"Yakeleus, yang ada gue kasian sama Fajar kalo lo jadi pacarnya. Stres dia nanti," ujar Langit.

Jingga memutar bola matanya kesal, lalu bertolak pinggang pada Langit yang menyibukkan diri untuk mondar-mandir merapikan kamarnya sedikit, setidaknya Jingga harus berpikir bahwa dia tidak sebegajulan itu. Walau memang benar.

"Lo ini aneh, labil. Bukannya lo yang nyuruh Fajar nembak gue? Kok malah nggak ngebolehin gue terima, sih?"

"Soalnya...."

"Soalnya apa?"

"Soalnya... gue ganteng," jawab Langit santai.

"IDIH DIH DIH!" Jingga bergidik geli sendiri mendengarnya, sementara Langit hanya terkikik melihat reaksi gadis itu.

"Tapi ya nggak ngaruh juga sih lo bolehin gue terima atau enggak," ujar Jingga yang mampu menyita perhatian Langit sejenak untuk menanti kalimat selanjutnya.

"Kepo ya?" Jingga memicingkan matanya meledek Langit sambil mengarahkan telunjuk pada cowok itu kala melihat tatapan keingin tahuan Langit.

Langit mengangguk polos. "Iya, kepo."

Jingga tak segera memperjelas kalimat sebelumnya, melainkan ia memilih menarik sedikit kursi belajar Langit untuk dia duduki.

"Gue udah cari tau kenapa seminggu ini nggak liat si Fajar di sekolah. Dan ternyata dia pindah, nggak tau kemana." Jingga mengedikkan bahunya.

"Pindah?"

Jingga manggut-manggut mengiyakan.

"Bagus deh," ujarnya.

"Bagus kenapa?" tanya Jingga heran.

"Ya bagus lah, nggak ada yang nyaingin kegantengan gue di sekolah."

Alasan menggelikan Langit dihadiahi timpukan asal penghapus putih tak berbusana yang Jingga temui di meja belajar laki-laki itu. "Najis."

"Eh, Jigong. Lagian lo tumben banget sih ke sini? Ini pertama kalinya loh." Langit yang baru saja menyelesaikan merapikan kamarnya pun beralih duduk di tepi ranjang menghadap Jingga dengan heran. "Di pukulin papa lo lagi? Kakak lo ngomporin lagi?"

Langit Untuk JinggaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon