8π • LuJ

36 13 20
                                    

Bab 8
-Rumah-

π

Plakk

Tujuh.

Plakk

Delapan.

Gadis itu menghentikan kegiatan menghitung dari dalam hati, dia sudah tak sanggup lagi memperhitungkan seberapa banyak rasa sakit yang akan dia terima.

Mulutnya bungkam, tak berani angkat suara bahkan untuk sekadar mengaduh sebagai pertanda jaringan kulitnya yang merespon rasa sakit.

Terdiam dalam sorot mata lurus dengan raut datarnya, dia duduk di sofa disertai banyak lebam yang tercetak jelas di lengan, kaki, juga wajahnya.

"MASIH BERANI KAMU BOHONGIN PAPA?!"

Dery menarik sabuk yang semula ia kenakan, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melibasnya ke arah kaki dan punggung gadis itu, kepada gadis yang notabenenya putrinya sendiri.

Si gadis—Jingga masih bungkam, hanya menahan rasa sakitnya dengan mengernyitkan alis juga memejamkan mata sesaat.

Perih, sangat. Dia ingin sekali menangis, tapi menangis merupakan larangan keras di keluarganya. Karena itu, menangis tidak akan menghentikan kemarahan papa. Yang ada, semakin gencar ia dihukum.

"BILANGNYA BELAJAR KELOMPOK, TAPI APA? MALAH NONTON FUTSAL NGGAK JELAS!"

PLAK

"MAKIN GEDE BUKANNYA MAKIN NURUT, MALAH MEMBANTAH KAMU YA?! BERANI-BERANINYA BOHONG SAMA PAPA!"

Jingga masih terdiam, bahkan kata maaf pun enggan terucap. Karena sejak kecil, dia tidak pernah dicontohkan untuk meminta maaf, tolong, dan mengucap terima kasih. Dia hanya dididik untuk menjadi wanita kuat, yang tak boleh terkalahkan.

"Lihat kakak kamu! Sekarang dia jadi perwira. Dia jadi orang berhasil karena didikan papa! Dia penurut! Bukan seperti kamu! Harusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu! Apalagi kamu nanti akan jadi prajurit juga. SEORANG PRAJURIT, HARUS PATUH DENGAN PERINTAH!"

Jingga nggak pernah mau jadi prajurit, itu semua mau papa. Jingga hanya bisa merasakan sesak yang bertumbuk dalam dadanya, mengingat setiap langkah yang dibuat dalam hidupnya, harus sesuai dengan rencana papanya.

Tidak diperkenankan memilih, tidak diberi pilihan.

Dan lagi, dia harus dibanding-bandingkan dengan kakaknya oleh papanya yang terobsesi dengan militer.

"Jangan cengeng! Semua rasa sakit akan terbayar kalo kamu sukses!"

Jingga masih tak bergeming. Dery membanting sabuk celananya ke lantai dengan kasar membuat Jingga agak tersentak.

"Satu lagi. Minggu depan udah mulai tryout, papa nggak mau denger hasil selain kamu jadi yang pertama lagi. Ngerti?"

"Iya, pa." Satu-satunya jawaban yang Jingga miliki, dan peraturannya hanya bisa dikatakan jika papanya meminta.

"Jangan bohongi papa lagi, walau kamu perempuan, bukan berarti papa akan manjain kamu. Kamu udah tau sendiri konsekuensinya kalau berbuat salah. Jadi. Jangan. Pernah. Diulang. Paham?" ujar Dery dengan menekankan tiap suku kata di akhir kalimatnya.

"Iya, pa."

Dery berbalik memunggungi Jingga dan mulai mematri langkah pergi meninggalkan Jingga dengan banyak rasa sakitnya. Dengan luka yang terlihat secara fisik, juga luka di hatinya.

Ketika bahkan, rumah tak pernah membuatnya nyaman. Ketika rumah menjadi tempat paling menakutkan. Dan ketika seorang ayah yang harusnya menjadi cinta pertama bagi putrinya, justru menjadi patah hati paling mengenaskan baginya.

Langit Untuk JinggaWhere stories live. Discover now