1. Prolog

925 55 4
                                    


Amara Ayu Ardhani

Seorang wanita cantik menatap jendela kamarnya dengan senyum yang terukir di bibir ranumnya. Sudah hampir tiga tahun Amara tinggal di kota ini, terpisah jarak dengan Arman, suaminya. Tepatnya sejak kecelakaan mobil yang membuatnya kehilangan penglihatan.

Bandung, di sinilah Amara memulai hidup baru. Tidak ada lagi tangisan karena ucapan orang lain yang menghinanya, mengatakan bahwa Amara tidak pantas lagi menjadi istri Arman. Awalnya sulit baginya karena ia hanya tinggal dengan Bik Minah dan Mang Hasan, suaminya. Pasangan suami istri itulah yang telah mengabdikan hidupnya untuk mengurus Amara. Namun, lambat laun ia mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Terlebih lagi Arman selalu mengunjunginya setiap akhir pekan.

"Mba Ara, " suara Bik Minah terdengar dari balik pintu. Amara memalingkan wajahnya dari jendela.

"Iya, Bik, " sahutnya.

"Mba Ara sarapan dulu ya, " ajak perempuan paruh baya itu.

"Aku mau sarapan di teras ya Bik sambil menunggu Mas Arman datang, " kata Amara. Ia meraba sisi kursi dan menemukan tongkat yang selalu menemaninya. Bik Minah meraih tangan Amara dan menuntunnya dengan hati hati menuju teras.

Amara duduk di kursi teras sambil mengunyah roti selai kacang yang disiapkan Bik Minah untuk sarapan.

Terdengar suara deru mobil memasuki halaman. Amara menyunggingkan senyum. Yang ditunggu akhirnya datang juga. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Lalu ia merasakan tubuh tegap Arman memeluknya.

"Apa kabar istriku yang cantik ini? " tanya Arman sambil melepaskan pelukannya lalu menggenggam tangan mungil Amara.

"Seperti biasa, aku baik Mas," jawab Amara.

"Kamu terlihat kurus, Sayang," ucap Arman.

Amara hanya terdiam menunduk, merasakan tangannya yang berada dalam genggaman suaminya itu. Arman memandangi wajah istrinya. Tidak banyak yang berubah, hanya rambutnya yang dipotong menjadi sebahu. Namun, tidak mengurangi kecantikannya. Untuk sesaat Armand dan Amara hanya saling diam.

"Sayang, ada yang ingin aku bicarakan," ucap Arman hati hati.

" Apa itu?" tanya Amara sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.

Arman mengangkat dagu Amara. Diusapnya pipi halus perempuan yang masih menjadi pemilik hatinya.

"Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi Doktoral di Jerman, "kata Arman.

"Alhamdulillah..."ucap Amara penuh syukur. Dipelukan erat suaminya itu.

" Jadi kapan kita berangkat ke Jerman, Mas?" tanyanya antusias.

Arman tertegun mendengar pertanyaan istrinya. Ia menghela napas berat. Apa yang akan dikatakan selanjutnya ini pasti menyakiti hati Amara. Diusapnya rambut Amara.

"Mas, kok diam?" tanya Amara.

"Bulan depan aku akan menikah," Arman berkata lirih sembari menggenggam tangan istrinya.

Amara tertegun. Dilepaskannya genggaman tangan lelaki di hadapannya. Arman segera meraih kembali tangan Amara dan menggenggamnya lebih erat.

" Kamu masih ingat Renatta? Ayah dan Ibu tetap menginginkan aku menikah dengannya," sambung Arman.

Penjelasan suaminya seperti ribuan jarum yang menghujani hatinya. Perih. Dia menyusut kristal bening yang tanpa terasa mengalir di matanya. Lalu dirasakannya tangan kekar Arman memeluknya erat.

"Maafkan aku, Sayang," lirih suaminya itu.

Arman Alfadli Prayoga

"Aku pamit ya,Ra. Jaga diri baik baik. Jangan sampai sakit," ucap Arman sambil menahan sesak di dada. Kemudian maju selangkah mendekati Amara. Memeluk perempuan yang sangat dicintainya itu. Amara segera melepaskan pelukan suaminya.

"Aku ikhlas kamu menikah lagi, Mas. Kamu harus bahagia," katanya sambil tersenyum. Arman mengenggam erat tangan istrinya.

"Saya titip Ara ya Bik," ujarnya pada Bik Minah. Bik Minah mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah oleh air mata.

"Sekali lagi, maafkan aku, Sayang," ucap Arman dengan nada lirih. Diciumnya kening Amara dan dilepaskannya genggaman tangannya. Melangkah menuju mobil.

Untuk waktu yang lama ia akan meninggalkan Amara. Sekali lagi dipandanginya wajah cantik istrinya. Arman menutup pintu mobil. Memasang sabuk pengaman dan menarik tuas perseneling. Ia memacu laju mobilnya meninggalkan Amara.

Tidak jauh dari rumah Amara, Arman menghentikan mobilnya. Menelungkupkan wajahnya di atas kemudi. Harusnya Amara yang mendampinginya kuliah di Jerman bukan Renatta, Kenapa ia bisa setega itu pada istrinya? Hatinya semakin perih ketika Amara mengizinkannya untuk menikah lagi. Bahkan istrinya itu tidak marah ataupun meminta cerai. Sementara apa yang dilakukannya? Menikah lagi dan pergi ke Jerman. Arman menyesali diri sendiri yang tak mampu menolak kehendak kedua orang tuanya. Tanpa disadari, matanya berkaca-kaca.

Ini hanya masalah perpisahan waktu dan tempat. Bukan akhir segalanya.

Amara tetaplah istrinya, wanita yang sangat dicintainya. Arman kembali memasang sabuk pengaman dan melajukan mobil untuk melanjutkan perjalanan.

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now