3. Hari Itu

228 20 0
                                    


Amara Ayu Ardhani

Aku mendorong pintu kaca bertuliskan Kopiku Coffee Shop, lalu menemukan pria dengan senyum di bibirnya.

"Hai, morning Mba " sapanya ramah. Tubuh tingginya menjulang di hadapanku dengan kaos hitam bertuliskan everything gets better with coffe dipadukan dengan apron warna coklat tua.

"Eh udah buka kan ya, Mas?" tanyaku ragu sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kedai yang masih terlihat sepi. Kulirik jam di tangan kiriku, masih jam delapan pagi.

Pria dengan apron coklat tua itu kembali tersenyum. Beni, aku membaca papan nama kecil yang tersemat didada kirinya.

"Sudah buka, Mba. Kami memang buka pagi, jam delapan," ujarnya sambil berjalan menuju coffee bar.

"Mau pesen apa?" tanya. Dia menyodorkan menu kepadaku.

Aku berdiri di depan coffee bar sambil membolak balik buku menu. Aku ingin memesan ice vanilla latte tapi hari masih pagi. Minum dingin akan membuat perutku sakit.

"Hot Cappucino," kataku seraya menyodorkan kartu debitku.

"Baik Mba, ditunggu ya," sahut lelaki bernama Beni itu.

Setelah menyelesaikan pembayaran, aku berjalan ke salah satu meja panjang yang menghadap ke luar. Sambil menunggu pesanan, aku memejamkan mata. Aroma kopi menyeruak ke seluruh ruangan. Aku memang sering ke kedai kopi ini. Selain letaknyan yang berseberangan dengan butikku, kedai ini tempatnya homie, cozy dan spacious. Aku juga menyukai rasa kopinya. Kudengar pemiliknya adalah seorang arsitek. Tak heran jika design ruangan di kedai ini sangat instagenic dan banyak spot bagus untuk berfoto.

"Silahkan dinikmati, Mba."

Aku terkesiap. Kulihat Beni meletakkan pesananku di atas meja.

"Thanks ya, Mas Beni," ujarku . Pria itu tersenyum lalu kembali menuju coffee bar.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi yang terletak di teras kedai. Kuangkat cangkir kopiku dan berjalan menuju pintu keluar.

Tiba- tiba pintu kaca terbuka dan seseorang menabrakku.

"Aduh Mas, hati hati dong!" seruku.

Capuccino di cangkir tumpah membasahi rok yang kukenakan. Beruntung cangkirnya tidak jatuh ke lantai.

"Maaf aku ngak sengaja, Mba," sesalnya seraya menangkupkan kedua tangannya di dada.

Aku menatapnya sebal.

"Aku ganti, ya! Mba duduk aja sebentar," katanya. Lalu memanggil pelayan.

Namun aku tak peduli, tanganku sibuk membersihkan tumpahan kopi dengan tisu. Kulihat pria itu bergegas menuju lantai dua.

Aku duduk di teras kedai. Mengambil Macbook Pro-ku dari dalam tas laptop lalu menyalakannya. Menatap layar putih bersih di hadapanku.

"Maaf Mba, ini cappuccino ganti yang tadi tumpah dan ini ada cheese croissant gratis," Beni sudah berdiri di hadapanku.

"Terima Kasih, " jawabku tanpa mengalihkan mataku dari layar laptop.

"Hmm maaf Mba ganggu lagi, saya boleh minta nomor ponsel atau barangkali Mba ada kartu nama?" lanjut Benny.

"Untuk apa?" Aku mengangkat wajahku.

"Begini, tadi kan Pak Arman terburu-buru. Mungkin nanti beliau mau minta maaf sungguhan sama Mba. Saya akan berikan nomor ponsel atau kartu nama Mba, " jelas Beni.

Aku menghela napas panjang. Oh jadi pria tadi namanya Arman. Batinku.

Kuraih kartu nama dari dalam tas dan memberikan padanya Beni.

"Butik saya di ruko seberang Mas. Kalau Pak Arman mau bertemu, silahkan datang ke butik saya," ujarku.

"Baik Mba, akan saya sampaikan ke Pak Arman," kata Beni. Lalu ia berlalu dari hadapanku.

Sesaat kemudian aku tersadar. Untuk apa aku memberitahukan letak butik milikku. Sesalku.

Ah, tapi biarlah, nanti juga dia lupa. Aku melanjutkan dalam hati.

Terdengar 'All This Time' Six Part Invention mengalun dari dalam kedai. Aku kembali menatap layar Macbook. Tanganku mulai menari di atas keyboard . Aku harus segera menyelesaikan naskah novelku. 

TAKDIR CINTA AMARAМесто, где живут истории. Откройте их для себя