2. Maaf

323 27 1
                                    


Arman Alfadhli Prayoga

Menjalani hidup sebagai pria lajang di usia yang berkepala tiga tidaklah mudah bagiku.

Banyak orang disekitarku yang mempertanyakan mengapa masih betah hidup melajang padahal usia sudah matang dan hidup mapan.

Mereka memberi nasihat agar aku tak terlalu pemilih dalam mencari pendamping hidup dan tak melulu berambisi mengejar materi semata.

Sepanjang perjalanan hidupku, tentu saja aku pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan suramnya patah hati. Namun, aku tidak trauma terhadap perempuan seperti yang mereka kira. Aku tetap membuka hati. Hanya saja aku belum menemukan perempuan yang cocok di hatiku.

Sore itu aku sedikit terlambat untuk menemui Aji, sahabatku yang sudah menunggu di 'Kopiku' nama coffee shop milikku. Terburu-buru aku mendorong pintu.

"Aduuuh Mas, hati hati dong!" Omel seorang perempuan dari balik pintu.

Gelas kopi di tangannya jatuh dan membasahi rok yang dikenakannya.

"Maaf Mba, aku nggak sengaja," ucapku seraya menangkupkan kedua tanganku di dada.

"Aku ganti,ya! Mba duduk dulu aja sebentar," kataku sambil melambaikan tangan pada Beni, karyawanku.

Beni menghampiri kami. Aku memintanya untuk segera mengganti kopi pesanan perempuan yang aku tabrak tadi. Sementara perempuan itu sibuk membersihkan tumpahan kopi di roknya dengan tisu. Mulutnya terlihat masih mengomel.

"Sekali lagi aku minta maaf ya," ucapku. Namun, dia acuh dan memandangku dengan tatapan tidak menyenangkan. Aku tidak peduli. Yang penting sudah minta maaf. Pikirku.

Aku bergegas menuju lantai dua untuk bertemu Aji.

***

Setelah pertemuan dengan Aji, aku berniat untuk meminta maaf dengan benar kepada perempuan itu. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencarinya. Namun, tak kutemukan sosoknya. Biarlah, kan tadi aku sudah meminta maaf. Batinku berkata. Kulangkahkan kakiku kembali menuju ruang kerjaku di lantai atas.

"Pak Arman mencari Mba Amara?" suara Beni membuatku menghentikan langkah. Aku menoleh dan melihat karyawanku itu tersenyum jahil.

"Dia memang cantik ya Pak, " lanjut Beni.

"Siapa maksud kamu?" tanyaku.

"Mba Amara, Bapak mencari dia kan?" Beni membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lagi.

"Iya, aku tadi buru-buru, belum sempat minta maaf dengan benar. Kamu kenal dia, Ben? Siapa tadi namanya?" tanyaku

Beni terkekeh. "Mba Amara. Dia sering ke sini kok Pak. Dia pemilik butik Laluna di seberang itu." Beni menunjuk ke arah luar.

"Dia sering ke sini?Kok aku nggak pernah lihat?" kataku pelan namun cukup terdengar oleh Beni.

"Makanya Pak, sekali-kali coba nyamar jadi pelayan. Masa ada pelanggan cantik nggak tahu, " canda Beni yang disambut gelak tawa Tasya, yang sedari tadi sibuk membereskan meja-meja. Aku terkekeh.

"Pak Arman mau nomor ponselnya Mba Amara nggak? Beni punya tuh," ucap Tasya

"Ini Pak," Beni menyodorkan kartu nama padaku. Aku meraihnya dan memasukkannya ke dalam saku celanaku.

Setelah mengucapkan terima kasih pada karyawanku itu aku segera menuju ruanganku di lantai dua.

***

"Kamu belum niat untuk menikah, Ar?" Pertanyaaan Papa membuatku tertegun. Aku sedang makan malam bersama kedua orang tuaku.

"Maksud Papa?" Aku menatapnya. Mencoba menerka arah pembicaraan.

"Yah, maksud papa sudah saatnya ada perempuan yang mengurus kamu." Mama tersenyum menatapku.

"Lagipula usia kamu sudah cukup untuk menikah," ujar Papa.

Aku tersenyum kecil. Mungkin memang sudah waktunya aku menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Pekerjaan tetepku sebagai Dosen di salah satu Perguruan Tinggi di kota ini. Aku juga memiliki coffee shop yang memiliki cabang di berbagai kota. Penghasilanku lebih dari cukup untuk berumah tangga. Apalagi yang ditunggu? Pertanyaan ini sudah sering kudengar dari kerabat ataupun kolegaku.

"Papa sudah punya calon istri untukmu," lanjut lelaki yang duduk di hadapanku.

Aku terdiam.

"Arman, kamu ingat Om Haris? Sahabat Papa waktu kuliah dulu? Renatta, putri bungsunya baru selesai kuliah di Sidney. Bulan depan Papa akan atur pertemuan dengan keluarga om Haris. Persiapkan dirimu baik baik," tutur Papa panjang lebar.

Aku tertegun mendengar ucapan Papa. Sesaat aku hanya diam sembari menghabiskan makanan di piringku.

"Arman--," Mama menunggu jawabanku.

"Iya, Insya Allah Pa," jawabku.

***

"Bagaimana, Ar?" Papa meminta kejelasan dariku satu bulan kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.

"Renatta itu cantik dan terpelajar. Dia juga baik dan santun," ucap mama.

Selanjutnya selama dua puluh menit mama bercerita tentang gadis itu.

"Baiklah Pa, Arman mau bertemu Renatta," ujarku.

Papa tersenyum. Raut wajahnya terlihat bahagia.

"Nah, gitu dong," kata mama seraya memelukku erat.

Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku berhasil menenangkan mereka. Aku menyetujui pertemuan ini hanya untuk menyenangkan kedua orang tuaku.

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now