15. Mencintainya

91 7 3
                                    

Renatta Muthia

"Maaf ya Rena, menunggu lama. Tadi macet banget di jalan," suara perempuan membuatku mengalihkan perhatian dari sosok Mas Arman yang berjalan ke arah pintu keluar Mall.

Aku menoleh dan mendapati Tante Ratih, mamanya Arman sudah berdiri di depanku.

"Nggak apa-apa Tante, Rena juga baru datang," jawabku seraya berdiri menyalami dan memcium kedua pipinya.

"Silahkan duduk Tante. Aku pesenin minum ya, Tante mau minum apa?" tanyaku.

"Hot Tea saja," jawabnya. Aku memanggil pelayan dan memintanya membawakan minuman yang dipesan oleh Tante Ratuh.

"Tante ingin ketemu aku disini, ada apa ya?" tanyaku pada perempuan yang sudah melahirkan Mas Arman ini. Dia tersenyum.

"Bagaimana hubunganmu dengan Arman?" tanyanya. Aku tertegun. Apa Mas Arman belum mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa dia sudah menolak perjodohan ini?Batinku.

Haruskah aku jujur pada Tante Ratih bahwa putra semata wayangnya sudah dua bulan sejak makan malam itu tidak sekali pun menghubungiku?Aku melanjutkan dalam hati.

Sejenak aku dilanda kebimbangan, tak mampu untuk menjawab hanya mengaduk-aduk ice vanilla late di hadapanku.

"Sayang ada apa?Apa Arman menyakitimu?" sentuhan tangan Tante Ratih menyadarkanku dari lamunan. Aku menggeleng pelan.

"Mas Arman belum bilang apa-apa sama Tante dan Om?" tanyaku hati-hati.

Perempuan paruh baya itu menggelengkan kepala. "Arman sepertinya sedang sibuk akhir-akhir ini. Dia lebih memilih tinggal di apartemennya daripada pulang ke rumah. Tante sudah berusaha meneleponnya menanyakan tentang hubungan kalian tapi dia bilang akan menceritakannya nanti kalau pulang ke rumah, " terangnya. Aku menghela napas panjang.

"Mas Arman sudah menolak perjodohan ini, Tante. Dia mengatakannya ketika makan makan malam beberapa waktu lalu itu, " akhirnya aku berkata jujur padanya.

Raut wajah Tante Ratih berubah. "Apaa?Dia menolak?Bagaimana bisa?" kesalnya.

"Anak itu ya, benar-benar seenaknya aja," geramnya. Lalu tangan Tante Ratih menggenggam erat tanganku. "Maafkan Arman ya Ren. Tante akan tegur kalau nanti dia pulang ke rumah. Kami masih menginginkan kamu yang menjadi pendamping hidup Arman. Tante minta kamu sabar ya, " ucapnya. Aku hanya mampu tersenyum getir.

***

Arman Alfadhli Prayoga, aku menyukainya sejak masih berseragam putih abu-abu. Aku dan dia satu sekolah, di SMA yang cukup elit di Jakarta. Namun, kala itu kami tidak cukup dekat, hanya saling kenal. Kebetulan ayah kami berteman sejak mereka kuliah. Di sekolah, Mas Arman terkenal sebagai kapten tim basket. Postur tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idola di sekolah. Selain itu, dia juga dikaruniai otak cerdas yang membuatnya hampir tiap tahun meraih gelar juara umum.

Aku hanya mampu menyukainya diam-diam. Dia pun sepertinya tidak tertarik kepadaku. Mas Arman pria yang dingin dan tidak banyak bergaul dengan perempuan meskipun di sekolah dia adalah idola.

Lulus SMA, Mas Arman melanjutkan studinya di Fakultas Tehnik Arsitektur di salah satu kampus ternama di Bandung, sementara aku melanjutkan studiku di Yogyakarta.

Hingga suatu hari Ayah dan Ibu mengatakan padaku bahwa aku akan dijodohkan dengan anaknya Om Rudi, sahabatnya Ayah ketika kuliah. Bunda menunjukkan foto keluarga Om Rudi padaku seminggu sebelum pertemuan. Aku terperangah menatap foto seorang pria yang berdiri di samping Tante Ratih. Pria yang aku sukai sejak dulu, hanya wajahnya sekarang lebih dewasa dengan kacamata minus menghiasi wajah tampannya. Aku pun langsung menyetujui ketika Bunda mengatakan akan mengundang mereka makan malam.

***

"Rena?" panggil Mas Arman

"Maaf, aku tidak bisa menerima perjodohan ini, " tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, membuatku tertegun.

"Bagaimana kalau kita mencoba untuk mengenal terlebih dahulu? Aku akan meminta pada Ayah untuk memberikan kita waktu, " ucapku.

Kali ini aku harus mendapatkan perhatiannya. Batinku.

Kulihat Mas Arman menggeleng. Dia memainkan cangkir teh dalam genggamannya. " Tidak Rena, hatiku sudah untuk seseorang, " ujarnya. Aku hanya bisa menahan kecewa menerima penolakkannya yang tanpa tendeng aling-aling. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Dia benar-benar tidak menginginkan perjodohan ini.

Ketika hari ini aku melihat Mas Arman keluar dari toko perhiasan, aku semakin yakin bahwa dia telah memiliki kekasih hati. Namun, aku tidak akan menyerah. Kali ini aku harus mendapatkannya. 

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now