4. Kunjungan

161 17 1
                                    

Amara menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar Macbook dengan memainkan jemarinya di atas keyboard. Sesekali dia menoleh melihat ke arah luar jendela sekedar untuk memilah kata yang tepat seolah orang-orang itu kamus berjalan. Tak jarang, Amara akan memejamkan mata untuk membayangkan adegan yang akan dia tulis.

Tak banyak yang mengenalinya sebagai seorang penulis karena ia menggunakan nama pena. Seluruh tawaran launching atau bedah buku selalu ia tolak. Ia menulis karena hobi dan Amara lebih senang berada di balik layar.

Namun, ia cukup terkenal sebagai designer muda pemilik brand Laluna. Amara memang menjual baju-baju rancangannya di butik yang menggunakan namanya ini.

Hari ini butiknya tidak terlalu ramai. Amara juga belum mengeluarkan rancangan baru karena masih fokus untuk menyelesaikan novel kelimanya.

Ia menolak ajakan makan siang Mala dan Nita, kedua asistennya. Perutnya belum terlalu lapar. Amara kembali menatap layar di hadapannya. Ketika jarinya akan menyentuh keyboard, pintu geser butiknya terbuka. Amara mendongak untuk melihat siapa yang masuk.

Seorang lelaki tinggi tegap muncul dari balik pintu dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Sesaat Amara terpaku.

Itu kan lelaki yang menumpahkan kopiku kemarin. Batinnya.

"Selamat siang." Tiba-tiba lelaki itu sudah berdiri di hadapannya. Ia meletakkan buket bunga yang dibawanya di meja Amara. Amara terkesiap, lalu segera berdiri.

"Selamat siang, Pak--, " Ucapan Amara menggantung.

"Arman." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Amara mengerutkan kening.

"Maaf Pak Arman, ini bunga untuk siapa, ya?" tanyanya.

Arman menghela napas, lalu menurunkan tangannya.

"Untuk kamu, sebagai permintaan maaf karena telah menumpahkan kopi kemarin itu," jawab Arman.

"Oh kalau itu, saya sudah memaafkan Bapak," ujar Amara.

"Pak Arman tahu darimana butik saya?" tanyanya lagi.

"Lho kan kamu yang kasih tahu Beni, karyawan saya," ucap Arman.

"Ah, iya, " kata Amara seraya menepuk jidatnya. Aku pikir dia ngak mungkin ke sini. katanya dalam hati

"Terima kasih bunganya," ujar Amara. Sesaat keduanya terdiam.

"Mba Amara, ini aku beliin mie goreng." Tiba-tiba Mala sudah berada di sampingnya. Ia meletakkan bungkusan mie goreng di meja Amara, kemudian berlalu.

Oh, jadi benar namanya Amara. Kata Arman dalam hati. Cantik, secantik namanya. Arman melanjutkan dalam hati.

Ia tersenyum kecil, lalu mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan butik.

"Semua baju-baju itu kamu yang rancang?" tanyanya.

Amara mengangguk. "Iya Pak. Bapak mau beli sesuatu?Hmm ...buat istrinya mungkin?" tanya Amara membuat Arman tergelak.

"Amara, saya belum menikah dan kamu jangan panggil saya Bapak, saya belum setua itu," sahut Arman seraya memandang wajah gadis di hadapannya. Nita yang berada tak jauh dari Amara ikut tertawa mendengar percakapan mereka.

"Tuh, asisten kamu sampai ikut tertawa, " lanjutnya.

"Oh ya ampun, saya minta maaf Mas Arman. Saya pikir Mas sudah menikah. Silahkan kalau mau melihat-lihat, nanti dibantu Nita, " kata Amara. Arman menggeleng.

"Saya ke sini hanya untuk minta maaf karena perbuatan saya kemarin dan ini ..., " lelaki itu mengeluarkan sebuah kartu dari saku celananya dan menyerahkannya pada Amara.

"Itu kartu VIP member Kopiku. Menurut Beni, kamu sering ke kedai." ujarnya.

Amara tersenyum dan menerima kartu itu. "Terima Kasih, Mas, " katanya.

"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi Amara," pamit Arman sambil beranjak menuju pintu keluar.

Dari balik mejanya, Amara memandang keluar. Dia melihat lelaki itu masuk ke dalam sedan mewah yang terparkir di halaman butik.

TAKDIR CINTA AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang