16.Bahagia Memilikimu

101 11 5
                                    


Pagi ini, Arman sibuk membereskan berkas-berkasnya untuk dibawa nanti meeting di kantor salah satu kliennya. Dia tidak menyadari Amara sudah berada di ruangannya.

"Mas ..., "

Dia merasakan usapan lembut di tangan kirinya. Arman menoleh dan mendapati Amara sudah duduk di depan mejanya sambil tersenyum kecil . Perempuan itu mengelus cincin pemberiannya yang dia sematkan tadi malam di jari manisnya. Arman tersenyum.

"Suka banget ya sama cincinnya?" tanyanya. Amara mengangguk.

"Terima kasih Mas. Pasti harganya mahal ya?" tanyanya.

Arman meletakkan berkas-berkasnya, kemudian menghampiri Amara dan meraih tangannya.

"Kamu kalau duduk di situ kayak pegawai aku. Kita duduk di sofa yuk biar leluasa ngobrolnya, " ajaknya. Amara menurut dan mengikuti Arman. Mereka berdua duduk di sofa panjang di depan meja kerja Arman.

"Nggak ada yang mahal buat kamu, Ra. Aku suka sama desain cincin itu dan ukurannya pas di kamu, " kata Arman.

"Maaf aku nggak ajak kamu beli cincin ini. Aku niat ngasih kamu surprise," lanjutnya.

"Iya, aku suka cincinnya, " Amara tersenyum.

Arman meraih jemari Amara. Dengan sedikit menunduk dia mencium jari Amara yang mengenakan cincin darinya. Kemudian dia mencium punggung tangan kekasihnya itu. Lantas digenggamnya jemari gadis mungil di sampingnya. Mata elangnya tak lepas memandang wajah Amara. Amara menyambut tatapannya dengan senyuman. Hening sesaat hingga suara bariton milik Arman memecah kesunyian di antara mereka.

"Sayang, minggu depan kita ke rumah aku ya. Aku ingin mengenalkanmu kepada kedua orang tuaku. Aku ingin memberimu sebuah ikatan pernikahan. Kamu mau kan, Ra?"

Amara sesaat tertegun. Dirinya tak mampu lagi berucap. Amara bahagia mendengar kesungguhan Arman mencintainya, hingga tanpa sadar sebutir air mata bahagia mengalir di kedua pipinya.

"Aku mau Mas, sangat ingin. Terima kasih sudah tulus mencintaiku," lirihnya.

Arman merengguh tubuh Amara ke dalam pelukannya. Jemarinya menghapus air mata di pipi Amara.

"Aku bahagia memilikimu Ara, sungguh, " ucapnya.

"Aku pun sama, aku bahagia memilikimu Mas," jawab Amara. Dia semakin menenggelamkan diri dalam pelukan Arman.

Sesaat keduanya hanyut dengan perasaan masing-masing, hingga akhirnya dering ponsel Arman menyadarkan keduanya. Arman menarik napas panjang dan melepaskan pelukannya kemudian beranjak menuju meja kerja untuk menjawab teleponnya.

"Iya Ji, nanti gua bawa berkas-berkasnya. Kita ketemu langsung di kantornya Bowo, lima belas menit lagi gue jalan, " terdengar percakapan Arman dengan Aji di telepon.

Amara melirik jam di pergelangan kirinya kemudian member kode pada Arman yang bahwa dia pamit pulang. Amara bangkit dari duduknya lalu melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun belum mencapai pintu, dia merasakan tangan kekar Arman memeluknya dari belakang, membuatnya refleks menjerit kaget.

"Mas!" tegurnya setelah sadar kalau ini ulah Arman.

"Lepasin Mas, nanti ada karyawan kamu yang masuk," sambung Amara. Arman tak peduli akan perkataan Amara. Dikuncinya pintu yang jaraknya hanya satu langkah dari mereka.

Dia meletakkan dagunya di atas bahu kanan Amara sementara kedua tangannya memeluk erat perut perempuan itu.

"Biarkan begini sebentar saja," bisiknya.

Arman membalikkan tubuh mungil Amara menghadapnya. Seakan belum cukup dengan kejutan tadi, tangan besar itu mendekat untuk memberi usapan di pipi. Amara menahan napas, mencoba meredakan debar jantungnya yang kian tak beraturan. Lelaki itu mencium pipinya perlahan.

"Mas, aku harus kembali ke butik buat menyelesaikan desain baju batik buat pameran," Amara menurunkan tangan Arman. Dia berusaha menjauhkan diri dari kekasihnya itu. Namun, Arman meraih tengkuknya, mendorong kepala Amara maju bersamaan dengan wajahnya yang juga mendekat. 

Insting Amara mendorongnya untuk memejamkan mata. Dia tak tahu bagaimana selanjutnya, tapi sepertinya Arman paham. Amara merasakan kecupan hangat mendarat di bibirnya.

"Aku mencintaimu Ara, sangat mencintaimu," lirih Arman. 

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now