21. Restu Ayah

118 8 0
                                    


Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku. Jika cinta memelukmu maka dekaplah ia walau pedang disela-sela sayap melukaimu (Kahlil Gibran)

Sejak jam tujuh pagi, Arman telah berada di kantornya. Dia sedang berdiskusi dengan Aji dan Nathan mengenai proyek perumahan yang akan mereka garap di Bali. Urban Design and Architecture telah memenangkan tender beberapa hari yang lalu, tinggal menunggu waktu pelaksanaannya. Mereka juga berdiskusi mengenai rencana pindah lokasi kantor ke tempat yang lebih besar lagi mengingat jumlah karyawannya yang terus bertambah.

Tiba-tiba pintu ruangan Arman terbuka.

"Mas Arman!" seru Renatta dari ambang pintu membuat semua menoleh. Arman terkejut melihat kedatangan gadis itu.

"Maaf Pak, tadi sudah saya bilang kalau Bapak lagi rapat nggak bisa diganggu. Tapi Mba ini maksa masuk," Ditha, sekretaris Arman tergopoh-gopoh masuk ke ruangan.

Arman hanya bisa mengangguk, tetapi raut wajahnya menunjukkan kekesalan. Dia menghampiri Renatta yang masih berdiri di ambang pintu. Ditariknya tangan perempuan itu dan diseretnya ke kafenya di lantai bawah.

"Apa-apaan sih, Mas?" protes Renatta ketika mereka sampai di bawah. Arman membawa Renatta duduk di kursi dekat kasir, lalu melepaskan cekalan tangannya.

"Kamu mau apa kemari?" kesal Arman. Renatta menghela napas kasar.

"Aku kemari mau ngejelasin soal hari kemarin. Mau bilang ke kamu kalau kemarin itu aku tidak mengatakan apa-apa pada pacarmu itu, " terang Renatta.

"Sudah tidak ada gunanya lagi. Lebih baik kamu sekarang pulang. Aku masih banyak kerjaan," ucap Arman. Lalu membalikkan badan dan melangkah pergi. Namun, tangan perempuan itu menghentikan langkahnya.

"Tunggu Mas!" seru Renatta.

"Aku janji nggak akan mengganggu kerjaan kamu, tapi nanti kita makan siang bareng ya, sama Tante Ratih juga. Aku sudah memesan tempat di restoran ayam goreng favorit kamu," ucap Renatta riang sambil tangannya merangkul lengan Arman.

"Rena, lepasin, " tegur Arman risih.

"Nggak, sebelum kamu bilang iya, " Renatta mengeratkan rangkulan tangannya pada lengan lelaki di sampingnya.

"Nanti siang aku ada jadwal bimbingan mahasiswa. Kamu makan siang berdua aja ya sama Mama. Nanti biar aku yang telepon Mama," Arman melepaskan tangan Renatta.

"Mas, jadwal bimbingan kan bisa diundur demi calon istri, " protes Renatta. Suaranya yang cukup keras membuat Beni dan Tasya menoleh dengan pandangan heran. Arman menarik napas panjang.

"Setelah makan siang, kita akan memesan cincin," sambung Renatta.

"Cincin?" tanya Arman setengah berteriak.

"Iya, cincin pernikahan kita," ucap Renatta.

Arman bisa melihat bahwa Beni menatapnya tajam. Perempuan ini benar-benar menguji kesabarannya.

"Tidak akan ada pernikahan untuk kita, Rena. Sudahlah, lebih baik kamu pulang, biar aku yang memberitahukan Mama agar membatalkan makan siang nanti," kata Arman.

Renatta mendengus kesal. Dia menatap tajam lelaki di depannya.

"Baiklah. Asal kamu tahu Mas, tentang perjodohan ini aku tidak akan mengakhirinya," Renatta meraih tasnya di atas meja lalu berjalan cepat meninggalkan kafe.

Arman menarik napas lega. Dia bergegas menaiki tangga.

"Ssssttt, Pak Arman, " suara pelan Beni menghentikan langkahnya.

"Apaan sih Ben, saya lagi banyak kerjaan," kata Arman yang masih kesal.

Beni menunjuk ke arah pojok kafe dengan ekor matanya . Arman tertegun.

Sejak kapan Ara ada di situ? Tanyanya dalam hati. Apa dia mendengar percakapannya dengan Rena tadi? Arman meneruskan kalimat dalam hati. Sejenak dia terpaku di ujung tangga.

"Suara Bapak sama perempuan tadi cukup keras. Mba Amara pasti dengar," bisik Beni.

"Pak Arman lupa atau bagaimana sih, kan tiap pagi Mba Amara di sini," lanjutnya.

Arman melihat Amar beranjak pergi. Dia hendak menghampiri kekasihnya, suara Beni terdengar dari sampingnya.

"Lebih baik jangan disamperin dulu Pak, nanti malah berantem. Bapak beresin dulu aja kerjaan, tadi lagi rapat kan? Pulang kantor nanti baru temui Mba Amara," sarannya.

Arman menoleh, "Kamu kadang-kadang cerdas juga, Ben," kata Arman lalu bergegas ke lantai atas untuk melanjutkan rapatnya.

***

Arman baru kembali dari toilet ketika melihat ayahnya duduk di ruangannya.

"Papa, tumben kemari. Ada apa?" tanya Arman heran. Rudi tersenyum melihat puteranya.

"Ada yang ingin Papa bicarakan. Kamu ada waktu?" tanyanya.

Arman melirik jam di pergelangan kirinya. Masih ada waktu dua jam sebelum ke kampus.

"Boleh Pa, apa yang mau Papa bicarakan?" tanyanya. Kemudian Arman duduk di sebelah ayahnya.

"Kamu sudah yakin dengan pilihan kamu?" tanya Rudi.

"Maksud ayah, Amara?" Arman balik bertanya. Rudi mengangguk.

"Kamu bukan lagi anak lelaki yang cengeng ketika kami tidak memberimu bola atau ketika kami tidak mengizinkanmu bermain bola. Terutama saat musim hujan. Kamu bukan lagi anak lelaki yang harus kami perintahkan untuk berhenti bermain bola, lalu mandi dan pergi belajar," ujar Rudi.

"Maksud Papa?"

"Apa yang akan kamu lakukan, jika kami tidak mengizinkan hubungan kamu dengan Amara?Apa kamu akan menangis seperti saat kami tidak memberimu bola?Saat kami tidak mengizinkanmu bermain bola, apa kamu akan marah?" tanya Rudi.

Arman mulai mengerti arah pembicaraan ayahnya. Itu adalah hal yang wajar. Hak orang tua adalah menentukan yang terbaik untuk anak dan sebagai anak dia juga ingin memberikan yang terbaik.

Setelah menghela napas dalam-dalam, Arman menjawab, " Arman tidak marah, Pa. Apapun keputusan Papa dan Mama, kalian orang tuaku. Tapi Arman mencintai Ara. Dia perempuan yang baik, terlepas dari latar belakang keluarganya. Insya Allah bisa menjadi menantu yang baik untuk Papa dan Mama. Namun, Arman tidak bisa berjalan tanpa restu kalian, "

"Papa memang belum mengenal Amara dengan baik, tapi karena dia pilihan kamu sendiri, papa tidak bisa melarang. Kehidupan kamu, ya kamu yang jalani. Papa sebagai orang tua hanya bisa memberi semangat, " Rudi menatap serius putra semata wayangnya.

Mata Arman berbinar mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rudi bagaikan cahaya baru yang menerangi jalannya. Dia beranjak, duduk di lantai menghadap ayahnya. Digenggamnya tangan pria tua yang sangat dia hormati.

"Restui Arman, Pa, untuk tetap menikahi Ara, " suaranya bergetar.

Rudi menganggukkan kepalanya. "Papa restui pilihan kamu. Bismillah, nikahilah Amara. Insya Allah Papa ridho,"

"Bagaimana dengan Mama? Om Haris?" tanya Arman.

Rudi menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Biar Papa yang bicara sama mamamu, semoga mamamu juga segera member restu. Mengenai Om Haris, papa akan segera memberitahunya. Semoga dia mengerti,"

Setetes air mata haru pun jatuh, Arman langsung menghaburkan tubuhnya pada sang Ayah. Memeluknya erat.

TAKDIR CINTA AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang