6. Sebuah Kebetulan(Part 2)

169 17 6
                                    

Amara menarik napas lega. Akhirnya selesai sudah acara bedah novel "Dua Nama Dua Cinta" karyanya. Bedah Novel sekaligus Book Signing yang merupakan bagian dari rangkaian acara Hari-Hari Sastra, yang diadakan setiap tahun oleh Himpunan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Amara bersyukur acara berjalan lancar meskipun ini kali pertamanya dia tampil dihadapan umum sebagai seorang penulis.

Amara masih berada di aula menunggu Arumi ketika ponselnya berdering. Amara segera mengangkatnya.

"Mba Ara tunggu ya. Aku ada urusan sebentar, " terdengar suara Arumi dari seberang.

"Aku tunggu di kantin ya, Rum," jawabnya.

"Ok Mba. Dua puluh menit lagi aku menyusul, " Arumi menutup percakapan.

Amara meletakkan ponselnya ke dalam tote bag. Setelah menanyakan letak kantin pada salah satu panitia, dia melangkahkan kakinya keluar aula.

Amara memaklumi kesibukkan Arumi sebagai ketua panitia. Tadinya dia mau langsung pulang setelah acara selesai, akan tetapi Arumi memaksa untuk mengantarnya pulang.

Kantin kampus tidak begitu ramai. Setelah memesan sepiring siomay dan es jeruk, Amara duduk di area luar kantin.

Dua puluh menit berlalu, tapi Arumi belum menunjukkan batang hidungnya. Saat hendak mengirim pesan pada adik sahabatnya itu, sebuah suara menyapanya.

"Amara?"

Dia mendongakkan wajahnya. Seseorang yang dikenalnya berdiri dihadapannya.

"Mas Arman, ada di sini?" tanyanya heran

"Sudah selesai acaranya?" tanya Arman seraya duduk dihadapan Amara.

"Sudah dari dua puluh menit lalu. Tapi aku nunggu Arumi, adik sahabatku, mau pulang bareng, " terang Amara yang dijawab anggukan oleh Arman.

"Mas Arman lagi ada urusan apa di sini?Jemput seseorang ya?" tanya Amara.

Arman menyunggingkan senyum. Menatap wajah cantik Amara.

"Iya, saya jemput kamu, " candanya. Mau tak mau Amara ikut tersenyum.

"Pak Arman dosen di kampus ini, Mba, " sebuah suara mengagetkannya. Amara menoleh dan menemukan senyum Arumi. Gadis itu menganggukkan kepala kepada Arman.

"Selamat siang, Pak," sapa Arumi sopan. Arman membalas sapaan Arumi dengan senyuman.

"Oh iya Mba Ara, maaf banget ya aku enggak bisa antar Mba pulang. Tiba-tiba ada rapat panitia mendadak, " ujar Arumi.

"Biar Amara pulang sama aku saja. Kebetulan aku juga mau pulang, " kata Arman.

"Beneran Pak bisa antar Mba Ara pulang? Duh aku jadi enggak enak. Maaf ya Mba, Pak," ucap Arumi sambil memegang tangan sahabat kakaknya itu.

"Enggak apa apa, kebetulan kita searah," jawab Arman.

"Enggak usah ngerepotin Mas, biar saya pesan taksi online saja, " sahut Amara.

"Terima Kasih ya Pak. Saya ke aula dulu, sebentar lagi rapat di mulai, " pamit Arumi lalu bergegas meninggalkan kantin.

"Yuk Ra, bareng aku aja. Mobilku ada di parkiran, " Arman bangkit berdiri. Amara hanya bisa mengangguk, lalu berjalan di samping Arman.

***

Hidup penuh teka-teki yang sulit ditebak. Kenyataan yang kadang tak masuk akal. Semuanya sering disebut sebagai 'kebetulan.' Waktu yang tak Arman ketahui dan mungkin Amara pun tak tahu, kadang mempertemukan mereka di tempat yang sama. Kadang seperti sebuah magnet yang kembali menyatu dalam ruang, tanpa sengaja dan sekali lagi itu kebetulan.

Setelah peristiwa di kedainya beberapa waktu lalu, Arman kembali bertemu Amara di kampus tempatnya mengajar.

Disinilah Arman sekarang, bersama Amara yang duduk di sampingnya dalam pajero sport hitam kesayangannya. Separuh perjalanan dan mereka masih terbungkus dalam diam. Suara khas Ariana Grande menyanyikan lagu Almost Is Never Enough terdengar pelan dari radio mobil. Tapi hanya sebatas itu, tak ada dari mereka yang memulai percakapan, sampai helaan napas Arman terdengar.

"Sudah lama jadi penulis?" Arman membuka percakapan dari balik kemudi.

"Baru dua tahun," jawab Amara singkat. Mata menatap ke luar jendela mengamati jalanan yang semakin tampak padat.. Diam-diam Arman melirik wajah cantik perempuan di sampingnya.

"Mas Arman mengajar di fakultas apa?" tanya Amara seraya memalingkan wajah ke arahnya. Arman terkesiap. Segera dipalingkan wajahnya ke jalanan di depannya. Padahal mobil tengah berhenti karena macet.

"Tehnik Arsitektur, " jawab Arman.

"Wah hebat, " puji Amara.

"Boleh aku memanggilmu Ara?" tanya Arman. Amara mengangguk.

Selanjutnya kekakuan di antara mereka mulai mencair. Selama sisa perjalanan mereka membicarakan banyak hal. Amara berceloteh panjang lebar yang ditanggapi Arman dengan senyuman. Tiba-tiba Arman merasa ada rasa hangat mengalir di dadanya. Dia merasa nyaman berada di dekat Amara. Suara tawanya yang renyah, dan juga wajahnya yang berseri-seri ketika menanggapi cerita Arman. Semua yang ada pada Amara terlihat cantik di mata Arman.

Tanpa terasa mobil sudah sampai di lobi apartemen Amara.

"Terima kasih Mas, sudah mengantarkan aku pulang. Hati-hati di jalan ya, sudah mulai malam, " ucap Amara seraya melepas seatbelt.

Ketika Amara hendak turun, tiba-tiba tangan Arman meraih tangannya. Amara tertegun memandang tangan kiri Arman yang kini ada di atas tangan kanannya.

"Sorry, " Arman segera melepaskan tangannya. Merutuki diri sendiri yang tak bisa menahan diri. Sabar Man. Batinnya berkata. Dilihatnya Amara tersenyum.

"Aku turun ya, Mas. Sekali lagi, terima kasih, " ujar Amara. Lalu bergegas membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung apartemen.

Arman tersenyum menatap punggung gadis yang telah menarik perhatiannya semenjak beberapa hari yang lalu. Dia lalu menarik tuas perseneling dan melajukan kendaraannya menuju rumahnya.

Tanpa mereka sadari, sesuatu terjadi pada hati mereka.

TAKDIR CINTA AMARADonde viven las historias. Descúbrelo ahora