14. Melamarmu

95 8 4
                                    


Menikah bukan hanya sebatas ijab dan qabul. Namun, lebih dari itu, ada komitmen yang harus dijaga agar tetap utuh. Ada perasaan yang harus dipertahankan agar tidak pudar dimakan waktu. Menikah juga bukan hanya tentang mencintai, tapi tentang caranya mempertahankan cinta sampai akhir.

Amara adalah definisi bahagia untuk Arman. Dia adalah sesuatu yang amat indah, bahkan kombinasi ribuan puisi karya sastrawan ternama pun takkan bisa menyairkan Amara yang begitu Arman cinta. Demi kesungguhan cintanya pada kekasihnya itu, Arman mengabaikan kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah menjodohkannya dengan Renatta. Dia akan mengenalkan Amara kepada kedua orang tuanya nanti meskipun dia tidak yakin mereka akan menerimanya. Arman berjanji pada diri sendiri bahwa apapun yang terjadi dia akan memperjuangkan Amara.

Arman menatap cincin dalam kotak biru di tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum. Keputusannya sudah mantap untuk melangkah lebih jauh dengan Amara. Dia ingin perempuan terkasih itu menjadi pendamping hidupnya. Arman menutup kotak cincin tersebut, menyimpannya kembali dalam laci meja kerjanya. Besok malam dia akan melamar kekasihnya itu di kafe miliknya.

***

"Udah siap Bro?" tanya Aji. Mereka sedang dalam perjalanan menuju salah satu hotel untuk meeting dengan klien.

"Siap apanya?" tanya Arman tanpa mengalihkan wajahnya dari layar laptop.

Aji yang sedang menyetir melirik sebal pada sahabatnya. Nanti malam mau melamar kekasih, kok malah sibuk dengan pekerjaan. Sungut Aji dalam hati.

" Nanti malam mau dinner sama Ara sekaligus ngelamar dia kan?Gua udah bilang meeting kali biar gua aja yang handle. Lo siap-siap aja buat acara istimewa itu," cerocos Aji. Arman menoleh, menatap wajah Aji yang terlihat serius dari balik kemudi.

"Gua bukan mau nikah Ji, cuma mau ngelamar aja." jawab Arman santai. Lalu dia menghela napas pelan. Meskipun Arman sudah mempersiapkan diri tapi tak urung dia merasa gugup. Daripada dia gelisah sepanjang hari, lebih baik dia fokus dahulu pada pekerjaannya sampai nanti malam.

"Lo pasti gugup ya," ucap Aji ketika mobil yang dia kendarai sampai di parkiran hotel tempat mereka bertemu klien. Arman menutup laptopnya tanpa menghiraukan perkataan sahabatnya itu.

"Yakin bisa konsentrasi?Ini klien penting lho," lanjut Aji seraya tersenyum jahil.

"Lo lama-lama gua suruh balik ke kantor aja deh, biar gua meeting sendiri, ' jawab Arman sambil menatap kesal pada Aji. Sahabatnya itu tetawa terbahak-bahak melihat reaksinya.

***

Arman duduk menghadap ke arah jendela. Sesekali mengaduk sendok pada kopi hitamnya. Beberapa kali dia mengecek ponselnya untuk menantikan kabar. Beni dan Tasya yang melihatnya tersenyum geli.

"Sabar ya Pak, Mba Amara pasti datang kok, " ucap Beni membesarkan hati bosnya.

"Eh tapi kayaknya udah gerimis tuh di luar. Mudah-mudahan Mba Amara tetap datang ya, " goda Tasya membuat Arman mendelik sewot.

"Daripada gangguin saya, lebih baik kalian layanin pengunjung-pengunjung," katanya.

"Pengunjung-pengunjung yang mana maksud bapak?Kan bapak yang bilang kalau jam tujuh sudah harus tutup demi surprise buat Mba Ara," ujar Beni.

Arman menghela napas kasar. Rasa gugupnya membuat dia kehilangan akal sehat.

"Tuh Mba Ara datang, " sambung Beni. Lalu dia berlalu dari hadapan Arman.

"Mas Arman ...!!"

Terdengar suara perempuan dari arah pintu masuk kafe. Dia menengok dan melambaikan tangan dengan girang. Sang perempuan, Amara segera menuju Arman. Aroma Vanila tercium dari tubuh kekasihnya itu. Perempuan cantik nan sederhana itu entah mengapa selalu membuat hatinya menghangat.

"Udah lama nunggu ya?" tanya Amara sembari duduk di samping Arman.

Lelaki memasang tampang cemberut, membuat Amara tertawa.

"Maaf ya, Sayang. Tadi butik rame banget, " kata Amara sambil memegang kedua pipi lelaki di depannya.

Arman tak segera menjawab. Dia mengulurkan tangannya ke bahu kekasihnya, lalu membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukkannya.

"Kangen," ucapnya. Arman memang sudah satu minggu tidak bertemu Amara karena kesibukannya sebagai dosen menyita waktunya.

"Ya ampun, baru juga enggak bertemu satu minggu." Amara melepaskan pelukan Arman.

Arman terkekeh, lalu menatap Amara lekat. Digenggamnya kedua tangan wanita di sisinya.

"Aku ingin melamarmu, Amara."

Arman segera berdiri. Lalu berjongkok dengan satu lutut sambil menyodorkan kotak biru yang terbuka, menampilkan sebuah cincin bertahta safir biru. Meminta kesediaan Amara untuk hidup bersama.

Amara tertegun. Dia tak menyangka Arman akan melamarnya secepat ini. Ditatapnya pria tampan yang sedang berlutut di hadapannya. Namun bukannya menjawab, Amara malah terisak. Dengan tangannya dia mengusap air mata haru yang mengalir di pipinya.

Arman memasangkan cincin safir biru itu di jari manis Amara. Tangannya terulur mengusap butiran bening yang mengalir di pipi kekasihnya.

"Aku mencintaimu Ara, sangat mencintaimu. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku," ucap Arman. Amara mengangguk perlahan. Dia tak mampu berkata-kata. Arman menarik napas lega mendengar jawaban Amara. Lalu mengecup bibir kekasihnya itu.

"Alhamdulillah, akhirnya Pak Arman akan segera melepas masa lajang." Terdengar suara Beni, diiringi riuh tepuk tangan seluruh karyawannya. Arman buru-buru melepaskan ciumannya. Sementara Amara tersipu malu. Sedetik kemudian dia merasa tangannya digenggam erat oleh Arman.

Suara Calum Scott mendendangkan 'You Are The Reason' memenuhi ruangan kafe.

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now