17. Pertemuan

78 7 0
                                    


Ratih bergegas memasuki rumah. Raut wajahnya terlihat memancarkan emosi. Tadi dalam perjalanan pulang, dia mencoba menelepon Arman, putranya akan tetapi hanya nada sambung yang terdengar.

"Bapak dimana Bik?" tanyanya pada Bik Inah, pembantunya.

"Bapak ada di ruang kerjanya Bu," jawab Bik Inah.

Ratih pun bergegas naik ke lantai dua untuk menemui suaminya. Ketika hendak membuka pintu ruang suaminya, ponselnya berdering. Nama putranya tertera di layar.

"Assalamualaikum Bunda, " sapa putranya. Ratih menarik napas panjang.

"Waalaikumsalam. Kamu kemana aja sih?!Mama sulit sekali menghubungi kamu,"omel Ratih tanpa basa-basi. Terdengar suara tawa putranya.

"Maaf Ma, akhir-akhir ini Arman sibuk di kampus dan banyak proyek yang harus diurus, " jawab putra semata wayangnya itu.

"Kapan kamu pulang?Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu," kata Ratih.

"Insya Allah hari Sabtu Arman pulang, Ma," jawab Arman membuat Ratih lega.

"Sudah dulu ya Ma, Arman harus berangkat untuk mengajar. Assalamualaikum," Arman menutup percakapan.

"Waalaikumsalam," Ratih menutup ponselnya dan bergegas masuk ke ruang kerja suaminya.

"Pa, anakmu itu bagaimana sih?" keluhnya setelah berada di dalam ruangan. Rudi, ayah Arman yang sedang membaca menoleh ke arah istrinya.

"Maksudnya gimana, Ma?" tanyanya meminta penjelasan istrinya.

Ratih menghempaskan diri di sofa, menatap ke arah suaminya.

"Anakmu itu tidak ingin dijodohkan dengan Renatta. Padahal kurang apa gadis itu?Dia cantik, pintar dan dari keluarga baik-baik," keluh Ratih.

"Papa sudah tahu," jawab Rudi santai.

"Maksudnya Papa sudah tahu kalo Arman menolak Renatta?" Mata Ratih membulat.

Rudi mengangguk kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada buku yang tengah dibacanya. Ratih menatap kesal pada suaminya.

"Papa kok nggak bilang mama kalau sudah tahu Arman menolak dijodohkan?" kesalnya.

Rudi menghela napas panjang, menutup buku dan menyimpannya di atas meja.

"Arman meneleponku tadi malam, kamu sudah tidur, Ma. Dia bilang akan membawa Amara kekasihnya untuk diperkenalkan pada kita Sabtu nanti," ucapnya membuat Ratih terperangah.

"Maksud papa, anak kita itu sudah punya kekasih?" tanya Ratih. Rudi mengangguk.

"Tapi aku tidak setuju. Renatta sudah pilihan tepat buat Arman," kata Ratih dengan nada emosi. Rudi menatap wajah istrinya yang terlihat marah.

"Mama tenang dulu. Ada baiknya kita bertemu dulu dengan Amara, " kata Rudi. Tangannya mengelus pundak istrinya, kemudian beranjak keluar ruangan. Ratih hanya bisa menghela napas kasar. Bagaimana suaminya bisa setenang itu? Kesalnya dalam hati.

***

Amara mematut diri di depan cermin. Dia gamang harus memakai gaun apa hari ini. Masih ada waktu satu jam sebelum Arman menjemputnya. Dia menarik napas panjang. Meskipun Amara seorang perancang busana, tapi memilih gaun untuk bertemu calon mertua adalah hal tersulit baginya. Akhirnya pilihannya jatuh pada dress selutut warna coklat dan flat shoes warna senada. Amara rasa sudah cukup sopan untuk bertemu ayah dan ibunya Arman untuk pertama kali. Lalu, dia memoles wajah dengan make up sederhana agar tampak natural. Tak lupa Amara memoleskan lipstik warna nude untuk melengkapi penampilannya. Setelah selesai, dia tersenyum puas. Sudah cocok dan tampak pas.

Tepat jam sembilan, Arman datang menjemputnya.

"Sudah siap?" tanyanya. Amara mengangguk. Arman menangkap raut gelisah di wajah kekasihnya itu.

"Nggak usah takut, ada aku," Arman tersenyum seraya mengelus bahu Amara. Lelaki itu lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan Amara masuk.

Mobil melaju dengan lambat. Suasana hening, hanya ditemani suara musik yang mengalun lembut. Amara tegang dan gugup. Berbagai pertanyaan berkecambuk dalam hati. Bagaimana kalau ternyata nanti kami tidak cocok? Bagaimana kalau orang tua Arman tidak menyukainya? Masih banyak pertanyaan lainnya terlintas di kepalanya.

"Sayang, kamu gugup?" Arman menoleh sekilas.

"Aku takut, Mas. Bagaimana kalau nanti orang tuamu nggak suka sama aku?" Amara menggigit bibir bawahnya.

"Tenangkan dirimu. Percaya sama aku, orang tuaku pasti menyukaimu," Arman menggenggam tangan kanan Amara. Penampilan Amara hari ini sempurna untuknya. Kekasihnya itu terlihat manis dan sederhana.

Sejujurnya Arman pun gugup. Matanya berusaha fokus pada jalanan di depannya, tapi pikirannya berkelana. Dia sedikit mengkhawatirkan sikap ibunya jika nanti telah bertemu dengan Amara. Semoga mama menyukai Amara. Harapnya dalam hati.

"Oiya Sayang, Papaku mungkin agak terlambat menemuimu. Dia harus bertemu temannya dulu setelah golf," kata Arman.

"Tapi Papa mengatakan bahwa dia akan ikut makan siang bersama kita, " sambungnya. Amara hanya mengangguk.

Satu jam kemudian mereka sampai di rumah orang tua Arman.

"Sudah sampai. Ayo turun, " ajak Arman sambil melepas sabuk pengaman. Dia turun, lalu membukakan pintu untuk Amara.

Amara melihat sekeliling. Halaman rumah Arman sangat luas. Terdapat taman bunga di bagian samping halaman. Arman meraih tangan kekasihnya dan menggenggamnya untuk menguatkannya.

"Assalamualaikum, " sapa Arman ketika mereka sampai di depan pintu.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita berusia sekitar limapuluh tahunan tapi masih terlihat cantik.

"Mama," Arman menyalami ibunya lalu mencium kedua pipinya. Kemudian wanita itu menoleh pada Amara dan tersenyum kaku.

"Ini Amara ya?" tanyanya datar.

"Iya, Tante, " jawab Amara sambil mencium tangannya.

"Ayo masuk. Kami sudah menunggu dari tadi, " ucapnya. Amara mengangguk pelan.

"Tante, Mas Arman sudah datang ya?" Tiba-tiba seorang wanita seumur Amara muncul dari ruang keluarga.

Seketika tubuh Arman membeku mendapati Renatta tersenyum padanya. Arman segera meraih tangan Amara dan menggenggamnya erat.

TAKDIR CINTA AMARAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt