28. Kecelakaan

167 10 2
                                    


"Perut kamu kapan besarnya ya?Kamu nggak ngidam?Pengen cepat-cepat dekor kamar sama beli perlengkapan untuk bayi kita," bisik Arman. Tangannya mengusap perut Amara. Amara terkekeh, menahan tangan Arman yang akan kembali mengusap perutnya.

"Geli," protesnya singkat. Arman mendengus kesal mendengar protes istrinya.

Amara tersenyum geli melihat tingkah suaminya lalu membalikkan tubuhnya menghadap kea rah Arman dan memeluk erat tubuh tinggi suaminya. Arman membalas dengan memeluk pinggang istrinya.

"Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu. Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kamu sedang hamil muda. Dokter bilang masih sangat rentan. Kamu paham kan, Sayang?" Arman merapikan anak rambut di dahi istrinya. Amara mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat kecerewetan suaminya.

"Kamu tenang aja Mas, aku akan lebih hati-hati," ucapnya sambil merapikan kerah kemeja suaminya.

"Ya sudah, aku ke kampus dulu," pamit Arman. Kemudian mencium kening istrinya itu.

"Kamu beneran nggak ngidam?Nggak pengen dibelikan sesuatu?" tanyanya.

Amara menggeleng. Arman meraih tasnya dari atas meja, menggenggam tangan istrinya sebentar. "Kalau ada apa-apa segera hubungi aku," lanjutnya sebelum melangkah keluar apartemen. Amara tersenyum dan mengangguk.

***

Sebelum ke kampus untuk mengajar, Arman menuju kantornya untuk mengambil beberapa berkas. Setelah dari kampus nanti, dia ada meeting dengan kliennya. Selain itu, Surya mengajaknya bertemu untuk membahas kelanjutan bisnis mereka. Arman meminta Ditha, sekretarisnya untuk membantunya mengecek Amara karena hari ini jadwal dia sangat padat. Semenjak Amara hamil, Arman menjadi lebih posesif terhadap istrinya itu.

Baru saja Arman membuka ruang kerjanya, dia mendapati Renatta sudah ada di sana. Dengan gerakan malas Arman masuk tanpa memperdulikan keberadaan perempuan itu. Dia melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya untuk menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawanya. Renatta merengut kesal melihat tingkah Arman.

"Mas, aku menunggumu dari tadi, " katanya.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Arman tanpa menatap Renatta. Namun, tidak ada jawaban dari perempuan itu. Arman mengangkat wajahnya dan menatap Renatta yang berdiri bersidekap dada di depan mejanya.

"Cepatlah katakan Rena, aku harus segera ke kampus. Ada kelas satu jam lagi," kesalnya.

Tiba-tiba perempuan itu terisak. Seketika tubuh Arman mendadak kaku. Dia mencoba menetralkan detak jantungnya dan menghela napas.

"Ada apa Ren, kenapa kamu menangis?" tanyanya melunak.

"Om Rudi sudah membatalkan perjodohan kita," ucapnya dengan suara serak. Arman mengangguk mengiyakan. Ayahnya itu sudah memberitahunya beberapa hari lalu bahwa dia sudah menemui Haris, ayahnya Renatta untuk membatalkan rencana pernikahan dia dan Renatta.

"Memang tidak bisa ya kita menikah saja?" tanya Renatta mengagetkan Arman. Dia menelan ludahnya dengan susah payah sebelum berkata, " Tidak bisa, Rena!"

"Tapi aku mencintaimu, Mas. Aku tidak masalah menjadi istri keduamu, " ucap Renatta.

"Istri kedua?" ulang Arman cepat.

"Aku bersedia. Asalkan bersamamu. Kumohon berikan aku kesempatan untuk menjadi istrimu. Aku berjanji tidak akan mengambil waktumu bersama Amara," kata Renatta dengan nada memohon.

"Rena, kamu sudah tidak waras?!Aku sudah memiliki istri dan seumur hidupku hanya ada Amara. Aku minta maaf tidak bisa menikah denganmu. Berhentilah untuk membujukku!" ucap Arman penuh penekanan. Renatta menghapus air matanya dengan kasar.

TAKDIR CINTA AMARAWhere stories live. Discover now