I. Teka-Teki Dari Doa yang Merdu

187 33 29
                                    

Istana itu merupakan belahan Kerajaan Langit yang paling sunyi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Istana itu merupakan belahan Kerajaan Langit yang paling sunyi. Penuh akan kabut setiap ujung pemandangannya, tetapi sinar cahaya terus berusaha menyoroti sekitar istana hingga tercipta tirai-tirai kemilau indah. Maka terlihat bermacam tanaman di pekarangannya; terus subur lagi terawat, tumbuh begitu indahnya menghiasi istana.

Tiada cicit burung menghuni pepohonan maupun kupu-kupu datang berkunjung kepada bunga-bunga asap, lantas semilir angin yang menumpang lewat menjadi satu-satunya pembelah sunyi wilayah itu. Bahkan langkah kaki yang paling senyap mampu terdengar di jalan setapak yang mengarahkan tamu langsung menuju pintu utama.

Berangsur-angsur kabut menipis menyambut kedatangannya. Demikian tampaklah sosok wanita empunya langkah kaki itu. Rambutnya ia biar terurai, sementara kedua manik senada batu kecubung yang sedikit kemerahan terus memandang lurus menuju pintu.

Kala ia capai anak-anak tangga, terciptalah riak lingkar bercahaya menyambut langkahnya. Pun, riak-riak terus bermunculan hingga ujung pintu utama yang tak lama terbuka begitu perlahan.

Si wanita lekas menerima pemandangan penuh kabut untuk kesekian kali. Namun, setidaknya kini indera pendengarannya peka terhadap suara air terjun yang menenangkan suasana. Dia begitu yakin itu bermuasal nan jauh dari tempatnya berdiri.

Segan ia rasa berlama-lama berdiri menikmati pemandangan yang kian terlihat jelas dengan minggatnya kabut lewat pintu utama, lekaslah ia berlutut di tempat. Begitu khidmat ia menundukkan kepala, lantas menerima cipratan air yang menjilat tepi curamnya lantai di hadapan.

"Navarra izin menghadap, Yang Mulia."

Pun, alih-alih protes, segera ia mengumumkan kehadirannya.

Nan jauh dari posisinya, tampaklah lengan utuh terulur menembus kabut yang mengisyaratkan tamunya untuk segera bangkit. Begitu ia menuruti perintah, lekas pemilik sepasang netra senada batu kecubung mendapatkan sosok yang hendak ia temui.

Itulah empunya istana, si kembar siam berkepala dua yang tidak pernah minggat dari singgasananya. Terus bersama-sama menyibukkan diri dengan pasang-pasang tangan yang tiada henti menguntai kuntum bunga teratai untuk dilemparkan ke kolam, di saat yang bersama pula secara repetitif meleburkan bunga-bunga layu yang hendak menghampiri mereka.

Separuh sosok itu berpenampilan cerah bagai mentari; wanita berkulit cerah lagi berambut pirang menjuntai memperlihatkan gradasi senada ceri di ujungnya, mewarisi sepasang mata segelap malam dengan sejuta bintang.

Sementara separuh dari sisa sosok tersebut memiliki kulit hitam selegam arang. Hampir ia babat habis rambut keperakannya yang cantik berhias kemilau debu yang diterpa sinar mentari. Netranya bahkan tak kalah indah dari milik si saudari; terang sebagaimana bulan purnama bersinar.

Merekalah yang akrab disebut Dewi Kembar. Sang Pemeluk Kehidupan, Putr; Sang Pemegang Kematian, Hetm.

Meski tak pernah luput dari tugas memutari Siklus Hidup dan Mati, tetap serentak mereka umbar senyum kepada Navarra.

SeeressWhere stories live. Discover now