III. Jejak Dalam Lima Hitungan [3/4]

27 8 0
                                    

Tanyakanlah padanya, kapankah hari paling sial jatuh menimpanya. Fu Xun mungkin akan menjawab hari ke-33 di Bulan Pinus tahun 1399 Era Matahari.

Orang-orang yang mengenalnya tidak salah dengar kalau itu merupakan hari ulang tahunnya yang kelima belas.

Betapa tidak. Memanglah suatu keberuntungan agaknya Desa Harapan Kecil tidak mendapatkan jatah empat musim sebagaimana yang acap diterima wilayah Heyuan bagian utara. Semua tetap merasakan ketentraman di antara hujan maupun kemarau, termasuk hari itu.

Ya, setidaknya sampai sekelompok prajurit mendatangi gubuknya untuk menemui ayahanda selaku kepala desa. Kepalanya merundingkan sesuatu yang menjanjikan.

Manis didengar, ia rasa. Namun, usai netra karamelnya bertemu pandangan dengan sejumlah prajurit yang mengepung desa, ia mulai ragu perihal rasa di dalam janji-janji yang dituturkan pemimpin mereka. Lagi pula, pastilah Jian An menolak segala tawaran menyenangkan hati yang dirundingkan, mengingat mereka telah lama makmur dengan segala kesederhanaan.

Apalah kekurangan yang dimiliki Desa Harapan Kecil hingga Jian An mau menerima bibit-bibit yang tampak menjanjikan hasilnya, sementara kelak mereka diharuskan membayar dengan hal-hal yang dirasa Fu Xun sama sekali berat sebelah.

Fu Xun lekas mengetahui keputusan yang dibuat sang ayah tidak dalam waktu yang begitu lama. Pun, semuanya terjadi begitu saja tanpa sempat ia mengedipkan mata.

Itulah sebuah permulaan buruk dari keputusan yang begitu fatal.

Dinding gubuknya hancur lebur, memuntahkan sosok pria paruh baya yang jelas tampak tak siap menerima serangan. Beruntung, tubuhnya yang besar dengan sigap mendarat dalam posisi berlutut usai terguling beberapa putaran.

"Padahal sudah kukatakan tidaklah perlu datang dengan maksud baik." Suara lantang seorang wanita tertangkap indera pendengaran Fu Xun persis ia menghampiri ayahanda. "Toh, mereka tetap saja menolak diiming-imingi kenikmatan surgawi. Munafik sekali."

Remang dari gubuk menyembunyikan sosok tersebut, tetapi tidaklah ia menunggu bagian atas dinding runtuh pula untuk memperlihatkan diri. Wanita pirang berperawakan tinggi itu melangkah ringan mendekati kedua insan yang termangu.

"Semua perundingan ini hanya membuang waktu. Tidakkah kau berpikir demikian, Kepala Desa?"

Jian An tanpa sedikit pun keraguan untuk melawan, lekas menghunus pedang. Fu Xun semula terheran, tetapi ia paham akan ancaman yang menguar dari si wanita. Maka tidaklah perlu meminta sedikit pun penjelasan, cepat-cepat ia acungkan sebilah pisau dari sakunya pula.

"Cinta keluarga, ya? Manis sekali." Kembalilah si wanita berceletuk kala ia berhenti di hadapan mereka. "Namun, apa pula yang bisa dilakukan mereka yang bukan merupakan pengguna Aora?"

Satu tendangan memang merupakan hal yang mustahil sampai tepat sasaran dari jarak saat ini. Namun, ayunan utuh dari kaki jenjang tersebut cukup membuat Fu Xun dan ayahnya terempas begitu jauh, bahkan terpisah.

Ini kali pertama bagi punggungnya menghantam batang pohon tanpa ampun. Dia yakin sekali juga sempat merusak ranting-ranting, tetapi apalah pentingnya itu sekarang?

Selagi mengaduh, disambung pula dengan mengerang, Fu Xun cepat-cepat menyapu pandangan menelusuri arah ke mana Jian An terempas. Lekas maniknya menemukan si pria paruh baya baru bangkit tepat di lapangan utama pedesaan.

Keributan disambut dengan berhamburnya wanita dan anak-anak keluar. Pun, tampak beberapa pria dan para pemuda muncul bersama tiap senjata dan perkakas bertani. Tiada seorang pun hirau kepada awan yang kian keruh di langit, masing-masing mulai awas terhadap sekitar yang tampak sesak oleh kepungan para prajurit pendatang.

SeeressWhere stories live. Discover now