III. Jejak Dalam Lima Hitungan [2/4]

42 9 16
                                    

WARNING : Scene melukai diri (self harm) tersedia di bagian ini.

~*~

Dia mulai mencerna kembali setiap ujaran Ares. Gusar tiap langkah ia entak seiring kepala terus berkecamuk. Setidaknya semua gerak yang diperbuatnya kian membantu Navarra tenggelam dalam pikiran.

Pun, membuatnya tidak sekadar mengerti satu hal, tetapi banyak hal yang sempat ia tinggalkan kala ia tak sadarkan diri.

Benang hitam berselimut duri-duri tajam jelas merupakan representasi dari perusak Alam Khayal. Namun, sepanjang masa pengawasan Navarra lewat Alam Khayal, sungguh tak pernah ia melihat pemimpi dengan tabiat seburuk itu. Lagi, ia yakin sekali, kekuatan yang ia berikan kepada Gentiana amatlah sangat cukup untuk menjaga Alam Khayal serta Benih Harapan yang bernaung di dalamnya.

Barangkali dirinya terlampau percaya diri sehingga tanpa sadar mengenyahkan fakta bahwa dirinya memiliki kelemahan. Jika dipikir-pikir, ia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan makhluk fana yang terus berkembang seiring waktu.

Hanya saja siapakah makhluk fana yang memiliki kekuatan sebesar itu untuk menyusup ke dalam Alam Khayal?

Satu tanya lekas dijawab dengan sepintas bayangan wajah-wajah yang hadir dalam mimpi Navarra. Maka kembalilah pikirannya terhadap cetusan Ares yang kontan memperlambat langkah yang tengah menyusuri lautan kabut.

Sementara otak Navarra terus berdebat perihal ingatan dan asumsi, kian besar kuasa kecemasan menghinggapi hatinya persis ia menghadap Istana Hidup dan Mati. Akan tetapi, ia menggeleng keras menampik segalanya.

Ya, tidak ada waktu mengurusi perasaan dan dugaan. Jika ia sungguhan ingin tahu, ia harus terus melangkah menghadap Sang Kehidupan dan Sang Kematian.

Hadapilah jawaban yang tersuguh di depan mata, batinnya meneguhkan diri. Entah itu baik atau buruk.

Demikian pintu kembar terbuka kala ia nyaris mencapai tangga terakhir. Ah, kapan kali terakhir ia mengunjungi istana ini? Bahkan ia tidak ingat kabut dari dalam sana dirasa sangat banyak, sehingga Navarra sulit menerawang guna menemukan pandang kepada tuan rumah.

Meski demikian, tiadalah keraguan singgah di dalam diri. Lekas ia memasuki istana. Nyaris Navarra tak hirau kepada sejumlah siluet membayang di kanan dan kiri kolam, sebab mata keunguan itu segera tertarik terhadap secercah cahaya emas yang menembus kabut.

Membutuhkan waktu agar kabut seutuhnya hilang, tetapi lebih dulu Navarra berlutut usai memandang hal yang kian memancarkan cahaya tersebut. Setiap mata yang tertuju kepadanya tahu betul, bukanlah rasa hormat yang ia tunjukkan dalam sikap yang ia hadapkan.

Itu merupakan bentuk kesedihan teramat sangat terhadap sekuntum teratai emas yang utuh mengambang bersama representasi kehidupan fana lainnya.

Utuh sudah ia dapati jawaban dari dugaannya nan jauh di hadapan.

Lantas raungnya pecah, menyayat hati setiap empunya mata yang tertuju padanya. Mereka ialah saudara dan saudarinya, pula Sang Penjaga Alam Semesta, Dewa Nattruerha, turut hadir menyaksikan Benih Harapan yang telah kembali ke dunia nyata.

Menyaksikan kegagalannya melindungi Benih Harapan.

Belum juga Wrenyasa bergerak menghampiri si adik, Sang Dewa Penjaga Alam Semesta mengetuk tongkatnya. Demikian batu yang dipijaki Navarra bergerak maju menyusuri kolam, sementara sepasang tangan Dewi Kembar lekas menyingkirkan Teratai Kehidupan yang menghalangi jalan.

Sampailah sosok malang yang sedang terisak itu menghadap Pemegang Kematian serta Pemeluk Kehidupan.

Bukannya enggan mengutarakan maaf pula memohon ampun. Bahkan kini di sela sesenggukan, tak sanggup Navarra mengucapkan sepatah kata.

SeeressWhere stories live. Discover now