II. Runtuhnya Alam Damai [2/3]

51 14 12
                                    

Menjemur pakaian barangkali bukan kegiatan yang paling tepat di hari yang mendung ini. Apa boleh buat. Setiap ibu asuh tidak ingin anak-anak di dalam panti terserang penyakit akibat kuman-kuman yang menempel di selimut dan seprai.

Ya, tidaklah mengapa jika mereka hanyalah para pemimpi yang diutus untuk meramaikan Alam Khayal. Semuanya harus dijaga, pula perlu diberi perhatian sama rata.

Kenyaman dan keamanan yang seimbang, sebagaimana Navarra selalu menekankan.

Keseimbangan itu tetap terasa ... tetapi entah mengapa hari ini Gentiana merasakan adanya kekurangan di dalamnya. Jelas itu bukan bermuasal dari langit yang muram. Sebaliknya, Gentiana lega Alam Khayal masih mampu mencerminkan seisi realita dengan baik.

Namun, sepanjang hidupnya sebagai Penjaga Utama Alam Khayal, ia tak pernah merasakan udara menjadi sesesak ini sementara sekitar terus tenang berjalan seperti biasa.

Empunya sepasang batu kecubung lantas mengarahkan pandangannya kepada Aster. Entah secara kebetulan barangkali, ibu asuh yang satu itu memahami isyaratnya lekas mengangguk selagi mereka bersiap serentak melangkah memasuki gedung panti asuhan.

"Memang tampaknya aku tak salah mengira bahwa ada yang aneh hari ini." Begitu Aster mengumandangkan kekhawatirannya selagi ia mengarungi lorong panjang.

Ada kegetiran di setiap nada suaranya yang diiring oleh langkahnya yang tergesa. Gentiana lekas meraih tangan Aster ketika mereka saling menghadap di tengah lorong, menggenggam kedua tangan kawannya.

"Kau pun merasakannya, bukan, Gentiana?" Kian jelas kerut di kening pemilik manik sekuning kulit limau itu. "Aku merasakan kedatangan sosok pemimpi yang tak biasa. Barangkali itulah yang membuat situasi Alam Khayal tak beraturan."

Baru saja Aster berucap, netra ungu Gentiana diundang peka terhadap langit-langit yang berlubang dalam satu kedipan mata. Sementara lantai seolah hendak runtuh, pula beberapa di antaranya tersusun tak beraturan.

Semuanya terjadi sekilas, tetapi sudah cukup membuat keduanya gentar.

"Eksistensinya begitu nyata." Lagi, Aster bersuara. "Kedatangannya seolah bermaksud merusak tatanan Alam Khayal."

Desah kasar lekas Aster embuskan seiring ia melemparkan pandangan ke luar jendela. Persis ia menggeleng kala melanjutkan, "Aku tidak dapat memastikan keberadaannya pula. Agaknya dia berhasil membaur di antara kita."

Aster menerima bungkam dari Gentiana sebagai tanggapan. Jelas sekali ia juga tidak menemukan apa-apa melalui terawangnya.

Sungguh? Bahkan sebagai Penjaga Utama bagi Alam Khayal Gentiana tidak bisa melakukan apa pun?

Lekas dua pasang mata mereka bertemu; yang senada kulit limau menyirat khawatir, sementara sepasang batu kecubung menajam tatapannya. Tidaklah perlu Aster meminta Sang Pencipta agar diberi kemampuan membaca isi hati, dia paham makna sorot mata yang ia terima itu.

"Tidak, Gentiana."

"Jelas ini bencana bagi Alam Khayal dan para pemimpi, Aster. Kita tidak bisa terus berdiam," tukas Gentiana. "Pun, ini mungkin mengancam kedamaian Benih Harapan yang selama ini kita bangun bersama."

Makin sengit kerut di kening Aster mendengarnya.

Sementara Gentiana berkedip, muncul lubang-lubang hitam di langit kelabu. Sekali lagi, semuanya terjadi sekilas bersama dengan rerumputan yang mengering. Tidak seperti Aster, sama sekali sepasang batu kecubung itu teralih pandangannya.

Lucu ia rasa kala memerhatikan Aster yang senantiasa mengkhawatirkan setiap sisi; Alam Khayal, Benih Harapan, serta dirinya sekaligus. Ya, jelas bahwa sahabat Gentiana ini mengharapkan semuanya selamat dengan sebuah aksi di dalam satu waktu.

SeeressWhere stories live. Discover now