XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [EX]

9 2 0
                                    

Lama sekali Ravn dan Wei Liwei saling pandang sebelum sang guru beranjak, utuh meninggalkan kedua muridnya. Padahal baru saja Rin bergerak bangkit untuk memberi salam, tetapi justru kawannya lekas melarang dan memintanya tetap berbaring.

"Kau butuh lebih banyak istirahat," kata si pria muda sembari menarik selimut. "Hari ini banyak yang kita kerjakan. Kau pun pasti kelelahan."

Kedengarannya seolah Ravn enggan mengungkit apa yang terjadi kala sore digulung oleh gelap malam. Segala tingkah yang dituturkannya pula membuat Rin tertegun. Betapa tidak. Kini, sosok itu berhias bebat serta obat merah yang telah ditutup kapas di kepala.

Tanpa sadar pemandangan yang terpampang persis di sampingnya ini mencetak kernyit penuh khawatir di kening.

"Ravn juga." Lantas berat hati ia berujar sembari memaksakan satu tarikan senyum kecil, "Kau menerima banyak luka, tetapi tidak kunjung istirahat."

"Hanya luka kecil," balas lawan bicara. "Beberapa hari juga sembuh. Jadi jangan khawatir, dan biarkan aku menjagamu. Ya?"

Cekat bertamu di tenggorokannya. Entah timbul usai Ravn berkata, atau perasaaan yang kerap mengganjal di dalam benak, ia tak tahu mana yang menjadi dalang kedatangan cekat itu.

Berusaha menelannya pun tiada guna. Sebab rasanya makin menyesakkan.

"Bahkan kau masih mau menjagaku ...." Lantas ia memaksakan diri untuk kembali bersuara, tanpa peduli getar dalam tiap-tiap kata yang terucap. "Meskipun aku yang menjadi sumber luka-luka itu?"

Kian terasa gentar ketika ia melontar tanya.

Pun, jantung Ravn serasa merosot dibuatnya.

"Sebaiknya kita tidak berpaling lagi. Jadi jujurlah padaku," kata Rin. Kali ini berat tampak Ravn melarangnya untuk bangkit, pun tak sanggup menatap manik Rin yang telanjur berkaca-kaca. "Pertemuan pertama kita bukan di Shavena."

Kata-kata yang menciptakan celos ringan menyerang dada, tetapi cukup untuk menyita seribu kata dari mulut lawan bicara. Melihat segala reaksi ini, Rin membenarkan ucapannya secara sepihak.

"Saat wanita pirang itu bersenandung dan menyentuh dadaku ... semuanya gelap sekali hingga aku tidak mengenali hutan." Dia bahkan berani memulai dengan cerita. "Lalu aku mendengar suara berbisik yang mengantarkanku ke masa lampau; masa yang barangkali berusaha kau sembunyikan, bahkan enggan kau ingat lagi.

"Pertemuan pertama kita ... ialah di Desa Harapan Kecil, bukan?"

Serentak keduanya mengangkat pandangan, saling beradu tatap seakan itu dapat membuat mereka menyalurkan perasaan masing-masing.

"Aku menculikmu dan menjadikanmu budak, membuatmu tersiksa menjelma boneka haus darah."

Agaknya sepasang keemasan tak ragu memancar segala rasa yang bertamu di dalam hati ....

"Lantas akulah dalang atas kematian Tuan Jian An."

Pun, bersama suara gemetar yang kian mengecil jatuh cairan bening yang lama bersinggah di pelupuk mata.

Wajahnya berderai air mata selagi mati-matian menahan isakan. Tidak hanya hidung yang memerah, tetapi nyaris seluruh bagian wajah merona. Entah marah atau sedih yang teramat sangat, ia sendiri tidak bisa menerjemahkan isi benaknya.

Sementara sosok di hadapannya mengangkat tangan, mengusapi pipinya yang basah seolah ia tuli terhadap semua celoteh yang baru saja Rin curahkan. Tak lama yang mendapatkan pegangan erat di pergelangan, sukses membuatnya tertegun untuk kesekian kali siap mendengarkan.

"Maaf tidak cukup untuk menebus segalanya ...." Kini gerakan ibu jari Ravn tersita karenanya. "Pun, kau masih bersikap baik kepadaku dan aku tidak pantas mendapatkannya. Tidakkah kau mengerti?"

Sedu sedan kian menjadi ketika matanya berjumpa dengan manik karamel persis di hadapan. Hendak ia menunduk menghindar dari sentuhan si pria muda, tetapi justru satu tangan yang tersisa menyusul menangkup wajah Rin.

"Maafkan aku, Rin, tetapi aku memang tidak mengerti apa yang kau katakan."

Sementara senyuman terukir di wajah Ravn, si gadis terpana. Seketika isakannya terhenti, tetapi kedua ibu jari yang tengah menempel di pipi belum puas mengusapinya yang sedang basah.

"Aku mengatakannya bukan berarti aku ingin menampik semua ucapanmu." Ravn meneruskan sembari menurunkan tangan ke bahu. "Hanya saja ... kupikir kau tidak perlu menanggung semuanya. Jadi apa pun bentuk maafmu, aku tidak akan menerimanya."

Entah melegakan atau justru membuatnya tegang kata-kata itu, Rin tidak tahu hingga si pria muda berujar lagi, "Sebab baik makhluk itu dan kau bukanlah orang yang sama."

Gadis yang tertegun itu lekas dipeluknya. Lembut sekali belaian ia beri di kepala empunya rambut yang terburai hingga lantai.

"Jangan merasa bersalah atas perbuatan yang jelas bukan berasal darimu," kata Ravn. "Kalau pun kau harus demikian, setidaknya hidup dan tetaplah bersamaku. Kita masih punya waktu untuk menebus segalanya, maka aku membutuhkanmu.

"Aku membutuhkan semua pengetahuan yang tersimpan di kepalamu; aku membutuhkan dukungan tekad yang kau miliki untuk menjelajahi Dunyia." Demikian si pria muda melepas pelukan, kembali menangkup wajah sembab Rin. "Barangkali aku juga membutuhkan kepolosanmu atau debat kecil bersamamu sebagai hiburanku? Entahlah.

"Akan tetapi, apa pun itu, kau masihlah berharga untuk berada di sampingku. Karena aku tahu cara untuk keluar dari jalan gelap ini."

Perasaan yang bersinggah di dalam dirinya membuat Rin sulit percaya akan seluruh perkataan itu. Dia ingin percaya, tetapi sisi lain berkata bahwa semua yang Ravn lontar hanyalah kata-kata kosong yang berusaha menenangkannya.

Namun, tatapan sepasang karamel terlihat bersungguh-sungguh, seolah memberikan landasan yang kuat untuknya kembali bangkit.

"Sungguh?"

Lantas salahkah jika ia memastikan seberapa kuat daratan itu?

Satu anggukan tiada ragu Ravn gerakkan. Ibu jarinya masih belum berhenti membelai pipi Rin meski ia tahu jalur air mata mulai surut.

"Aku akan membicarakannya nanti. Jadi untuk sementara, menangislah sepuas hati hingga kau lega jika memang itu yang kau perlukan. Aku berjanji untuk tidak ke mana-mana."

Jelas tiada terdengar bagai suruhan ucapannya, tak tersirat sebersit ejekan pula setiap tuturnya, tetapi begitu mudah membanjiri manik keemasan itu kembali dengan air mata. Kontan ia pula menerima pelukan lagi, yang kali ini ia balas dengan segenap kepercayaannya.

Bersama pikiran yang mulai tenang, Rin berterima kasih. Lantas hati kecilnya memanjatkan doa atas rasa syukur betapa beruntung ia bisa memiliki teman seperti Ravn.

Permulaan yang sesungguhnya belum dimulai, tetapi Rin menaruh harap agar perjalanan panjang yang akan mereka hadapi bersama kelak tidak cepat berlalu.[]

[]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SeeressWhere stories live. Discover now