III. Jejak Dalam Lima Hitungan [4/4]

29 10 2
                                    

WARNING: Mild gore scenes tersedia di bagian ini.

~*~

Demikian Fu Xun berusaha kembali bangkit, utuh mengindahkan ngilu yang masih bersemayam. Alih-alih mampu melanjutkan lari, Fu Xun sekadar terpincang dalam langkahnya.

Baru beberapa langkah ia gariskan, samar-samar kericuhan berhenti. Sulit baginya menerawang akibat mata yang telanjur pedih, tetapi ia yakin sekali prajurit penjajah mulai bergerak mundur. Jelas titah yang segera dilaksanakan tanpa protes mengundang seribu tanya di benak para penduduk desa pula.

Lekas Fu Xun melangkah lebih jauh lagi. Barulah netra kecokelatannya mendapati sosok yang mengangkat tangan tinggi-tinggi. Persis ia berdiri di atas kereta kuda; ialah wanita muda berperawakan lebih pendek dari Fu Xun. Namun, ia berasumsi sosok itu berumur beberapa tahun lebih tua darinya.

Sunyi telanjur merambat atas keberadaannya wanita muda berpenampilan serba hitam tersebut. Bahkan Shiina yang berhasil mengunci pergerakan Jian An yang terkapar dalam keadaan telentang, lekas menekan dagu si pria paruh baya agar mendongak ke arah pandangan yang ia tuju.

"Kehancuran yang sesungguhnya dimulai dari sini, Kepala Desa," katanya selagi ia menyaksikan mata lawannya yang berangsur nanar.

Bersamaan dengan cetusan Shiina, terciptalah tabir pelindung dari berbagai elemen yang mengepung para penduduk desa yang masih termangu. Sempat Fu Xun melirik kanan dan kiri, meneliti setiap tabir pelindung yang saling terjalin.

Sempat ia menarik kesimpulan lebih cepat, tetapi usai berpuas memandangi kereta kuda dan wanita muda yang masih setia di atas atap kereta tersebut, sebelumnya Fu Xun menengadah.

Gemuruh sekali lagi terdengar jelas, pula kilatan kembali saling bersahutan seolah siap menghantam siapa saja di muka bumi. Demikian awan-awan hitam memuntahkan rintik-rintik yang menggelitik kulit, utuhlah empunya rambut kecokelatan itu menemukan jawaban perihal tabir pelindung yang mengepung mereka.

... Bahwa segala perisai sihir itu bukan tercipta untuk Desa Harapan Kecil.

"Datanglah. Aku mengundangmu ke dalam perjamuan yang menyenangkan." Bisikan dari wanita muda lantas menjadi sebuah permulaan terhadap apa yang terjadi kelak di dalam kepungan dinding sihir ini, "Makanan dan para kandidat budakmu telah tersedia."

Satu bagian dari kereta kuda terbanting keras hingga menciptakan suara yang mengejutkan, berikut menghadirkan sosok yang utuh tertutup oleh sepasang sayap hitam. Belum ia mengepakkan sayap sama sekali, tetapi ia tetap bertahan di udara.

Tidak membutuhkan waktu lama, satu entakan dari sepasang lengan terentang membentang sayapnya saat kilatan menciptakan siluet dari sosoknya. Itulah ia, sesosok perempuan yang begitu menyeramkan yang pernah Fu Xun lihat semasa hidupnya.

Dia berambut perak yang menjuntai hingga mencapai betis, pula memiliki sepasang tanduk melingkar serupa tanduk kambing gunung. Maniknya senada darah, menyala-nyala seiring seringai yang memperlihatkan taring-taring panjang lagi tajam.

Tidaklah Fu Xun melupakan segenggam batu delima yang tertanam di atas dadanya, persis seperti mata. Di sekitarnya, terdapat sejumlah guratan besar bagai akar.

Itulah dia, permata Enfierno yang mereka bangga-banggakan.

Si Buah Hati Pembawa Kehancuran, Apollya.

Sekonyong-konyong riuh bertumbuh dari kepanikan. Para penduduk desa mulai berhambur, berusaha menghancurkan tabir pelindung, bahkan berlutut memohon agar dibebaskan. Betapa Apollya terhibur akan pemandangan berselimut rasa takut yang mereka ciptakan itu.

SeeressWhere stories live. Discover now