II. Runtuhnya Alam Damai [3/3]

45 12 15
                                    

Setidaknya kini Gentiana mengetahui banyak hal. Tidak hanya satu, pula semuanya sukses membuat ia tertegun cukup lama.

Aster benar soal firasatnya. Pemimpi yang didatangkan itu memang hendak menghancurkan Alam Khayal. Namun, usai mengingat peristiwa di depan mata yang baru ia hancurkan, Gentiana bisa mengoreksi beberapa poin mengenai si pemimpi.

Dia datang dengan raga dan kesadaran yang utuh. Alam Khayal tidak pernah mampu menampung mereka yang berasal dari dunia nyata terlalu lama. Tak heran jika tatanannya mulai tak beraturan.

Poin terburuk ialah, Gentiana menyadari ia tidak hanya sedang berhadapan dengan sosok dari dunia nyata, tetapi juga pemuja Saqqarok yang dipinjami kekuatan yang sangat besar untuk menghancurkan Alam Khayal.

Biasanya Gentiana mampu mengendalikan seisi Alam Khayal tanpa sedikit pun kesalahan. Sementara saat ini mempertahankan sekitarnya untuk tidak porak-poranda barang sebentar saja berat sekali rasanya.

Tidak perlu dijelaskan pun, Gentiana mampu memetik asumsi terburuk dari yang paling buruk dari kedatangannya.

Tentu, dia tidak datang semata-mata sekadar menghancurkan Alam Khayal. Sosok itu pastilah sedang mengincar Benih Harapan pula.

Di dalam langkahnya, si ibu asuh menelan ludah. Tergesa-gesa ia mengarungi setiap sisi yang hangus, perlahan tergantikan dengan seluruh pemandangan wilayah utara Luminesia di Alam Khayal seperti semula. Lantas ia mendapati taman belakang perpustakaan.

Dia mengangkat tangannya kepada air pancuran yang nyaris tumbang akibat air keruh yang kian memanas. Satu entakan ia turunkan ke arah tanah, lantas mengembalikan pancuran seperti sediakala. Demikian ia menyibak kerangka burung yang melintas seiring ia berjalan, lalu menumbuhkan kembali setiap rerumputan dan tumbuhan hias.

Mata batu kecubungnya lekas mendapatkan sepasang insan yang sedari tadi ia cari. Terkesiap lagi terhenti langkahnya mendapati Rin yang masih mengaitkan jari kelingking. Pandangan kosong masih ia lontarkan dengan netra yang sudah berganti warna senada malam kelam.

Kemampuan Benih Harapan menerawang masa lampau sudah terbuka.

Ini bahkan terlalu cepat! pekik batin Gentiana kala melanjutkan langkah.

Makin yakin dirinya sosok yang ia lihat dalam penglihatan itu tak lain merupakan Rin. Tidak ia sangka sama sekali, bahwa si gadis sama sekali tidak bisa melepas dirinya sendiri dari terawangan itu.

Persis Rin terengah. Berusaha meronta, tetapi hanya lirih tertahan saja yang sedari tadi ia lantunkan. Ditambah, peluh dingin terus bercucuran dari pelipisnya. Nyaris saja ia menitikkan air mata pula. Sementara pria di sampingnya hanya diam menyaksikan gentar yang menguasai tubuh mungil itu, Gentiana lekas paham semuanya dalam sekejap.

"Rin!" Si ibu asuh berseru lantang, tetapi masih ia pertahankan ketenangan di dalam nadanya.

Rin lekas terkesiap. Satu kedipan mengembalikan warna mata yang keemasan bersama lepas kaitan jari kelingkingnya dengan milik Lucian. Sirat bingung lantas kini ia lemparkan kepada pria pirang yang tengah menolehkan pandangan kepada sosok empunya suara yang menyadarkannya.

"Ibu Gentiana ...?"

Tenang sekali langkah si ibu asuh menghampirinya, lengkap pula bersama senyum lebar yang ditujukan kepada Rin. Cepat-cepat gadis berambut panjang itu beranjak, menyambut Gentiana penuh suka cita.

"Sudah hampir pukul dua, tetapi kau belum juga pulang. Ibu khawatir, ternyata kau berada di sini." Demikian pula Gentiana berjongkok menerima sambutan dengan merapikan poni si gadis kecil. "Kupikir kau bermaksud mengembalikan buku?"

"Oh, maafkan aku, Ibu Gentiana ... tetapi ... saya bertemu dengan seorang penjelajah dengan segudang cerita yang begitu berharga. Sayang kalau dilewatkan begitu saja," balas Rin.

SeeressWhere stories live. Discover now