V. Kobaran Sepucuk Harapan [1/3]

19 7 0
                                    

"Harap-harap kau memiliki alasan bagus mengapa aku harus mengikutsertakannya dalam pelarian ini."

Mengesankan.

Barangkali itulah pendapat Arslan tepat ia menangkap lontaran pemuda di hadapannya usai menelan geram bulat-bulat. Betapa tidak. Dia bahkan tahu, kalau Ravn amat sangat membenci eksistensi si Buah Hati Pembawa Kehancuran.

Lama ia menunggu waktu agar bisa melepaskan diri dari cengkeramannya, pula hendaklah ia hampir sampai pada tujuan mengempaskan julukan sebagai Budak Kegelapan. Lantas ia harus membawa lari wadah makhluk terhina itu?

Sungguh di luar nalar.

"Percayalah, kau membutuhkannya." Arslan berujar seraya bersedekap. "Lalu, biar kuingatkan padamu. Satu keputusanmu ini final; penuhi syarat dan aku akan membantumu, atau kau berada di sini selamanya hingga maut menjemputmu.

"Pun, aku tak ingin membuang-buang waktu menjelaskan segala hal pada orang yang enggan meraih uluran tanganku."

Arslan berani bertaruh, pastilah mulut yang terkatup rapat-rapat itu tengah menggertak gigi selagi empunya menyipitkan manik karamelnya. Mereka terus beradu tatap, sengit pula alisnya bertaut.

Pada akhirnya Ravn menarik napas dalam dan perlahan. Masih terlihat sirat-sirat kekesalan di mimik wajahnya, tetapi beruntung kini ia dapat mengendalikan tekanan suara yang kemudian melontar tanya.

"Apa rencanamu?"

Ravn mengembuskan napas panjang. Terus ia menyusuri lorong, menghampiri bilik pengangkut sekali lagi. Kali ini ia tidak akan kembali ke atas, melainkan menuju dua lantai di bawah.

Beberapa prajurit yang hendak berpapasannya selalu berhenti dan menepi, memberi hormat hingga ia utuh lenyap dari sudut mata. Entah bisa dibilang manfaat atau tidak, tetapi barangkali itulah gunanya baju zirah yang ia kenakan.

Ya, siapa pula di antara mereka yang tidak sadar kalau dirinya Budak Kegelapan kala mengenakan baju zirah itu? Dia selalu dikenal bengis dan tak kenal ampun jika Buah Hati Pembawa Kehancuran berada di sampingnya.

Pun, kala diturunkan untuk menjajah pula, hampir seluruhnya ia bawakan kemenangan bagi Enfierno. Lantas siapa di antara prajurit setara atau bahkan berada di bawah pangkatnya tidak menyegani Ravn?

Atau mungkin ... malah gentar terhadap eksistensinya.

Sosok dari pemilik rambut panjang yang diikat ke belakang itu melintasi jembatan yang menghubungkan gedung utama ke menara besar. Angin bertiup seiring langkahnya terus mantap mengarah pintu kayu kembar yang terbuka lebar. Terdapat dua prajurit di kanan dan kiri pintu, serentak memberi hormat, tetapi sayang tak begitu diacuhkan Ravn yang lekas masuk tanpa suara.

Dia disuguhi lorong temaram berbekal cahaya dari obor yang tersemat di dinding dengan jarak beberapa langkah. Tidak membutuhkan pikir panjang, Ravn berbelok; berjumpa dengan tangga yang kemudian ia susuri untuk turun.

Irama langkah kian mengetuk memenuhi lorong, tetap saja telinga Ravn tidak pernah pekak terhadap suara lenguh derita yang melaung dari bawah. Samar-samar tergurat kerut sakit di keningnya, hingga tanpa sadar ia mempercepat loncatan menuruni anak tangga.

Dia mencapai ruang bawah tanah yang begitu luas, minim akan perabotan maupun alat yang dibutuhkan di dalamnya. Namun, hanya dengan benda-benda itu pun sudah cukup membuat sesak makhluk yang tinggal di sana.

Ya, itulah sosok yang melaungkan pekik serak, sosok foniks bersayap dua pasang dengan sisik sekeras naga di bagian leher menuju perutnya. Jika saja ia memiliki tenaga—atau setidaknya semangat—yang cukup untuk mengangkat kepala, pastilah terlihat lehernya setengah kali lebih panjang dari tinggi Ravn.

SeeressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang