VII. Langkah Pertama

19 4 0
                                    

Katakanlah kegiatan menimba air di pagi hari itu merupakan masa yang paling berharga dalam hidupnya. Barangkali Hua akan sepakat.

Beruntung momen itu tidak sampai membuatnya menjatuhkan Yunyun dalam gendongan, atau melepas ember dari genggaman usai mata bulatnya mendapati sosok yang begitu familier. Isi hati yang berdebar mengantar cekat di tenggorokan itu jelas tak salah.

"Kakak?"

Meski ia tak lagi memiliki suara nyaring sebagaimana terakhir kali ia mendengarnya mengutarakan sepatah kata, tetapi cukuplah pertanyaan yang menuntut kepastian itu meningkatkan keyakinan kalau dialah orang yang lama ia nantikan.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi wanita pemilik rambut sebahu itu menghampiri Ravn. Sementara anak kecil yang digendongnya lekas diturunkan, ia biarkan pula Rin dan penjaga bermata sipit menontoni dirinya menangkup wajah Ravn kemudian.

"Ah, sakit!"

Caranya menempelkan tangan lebih terlihat seperti menampar sebenarnya ....

Namun, tampaknya wanita tersebut pun tak hirau akan ringisan si adik yang tak ia sangka tumbuh satu setengah jengkal lebih tinggi darinya. Malah ia mengusapi setiap permukaan kulit wajah Ravn, menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan seolah itu seperti barang pecah belah berharga yang ia khawatirkan rusak parah.

"Ini benar kau!" seru Hua kemudian, sebisa mungkin menelan bulat-bulat cairan bening yang telanjur menggenang di matanya. "Tidakkah kau tahu tiada satu hari pun kami tidak memikirkan keadaanmu? Lihatlah. Bahkan kau tidak membawa apapun, sama sekali tak berkabar pula! Oh, bagaimana kami mempersiapkan diri untuk menyambut kedatanganmu ini?

"Ditambah kau membawa calon istri!" Omelan itu terhenti sejenak tepat Hua memutar pandangan kepada Rin yang sedari tadi memerhatikan. Sungguh, ia hampir melupakan gadis kecil yang semula ia gendong tengah ikut menontoni. "Membawa calon iparku di kala miskin?! Kau sangat tidak sopan, Fu Xun! Di mana tata kramamu?"

Hening barang sejenak lekas dimanfaatkan manik-manik emas dan karamel untuk saling bertemu tatap. Satu menatap penuh tanya terhadap apa yang mesti ia katakan, sementara yang satu telanjur merah padam wajahnya menanggung malu akibat oceh sembarang.

Setidaknya bersama-sama mereka berdua mampu menyimpulkan satu hal. Ya, banyak sekali yang harus dijelaskan kepada Hua.

Pun, pastilah akan banyak pula yang mendengarkan. Begitulah Ravn membatin meneruskan, seiring matanya berganti pandang kepada para penduduk yang mulai terpancing hadir akibat segala omelan sang kakak memenuhi udara.

Bermacam-macam ekspresi terlukis di masing-masing wajah mereka yang masih familier dalam ingatan Ravn; takjub yang tersirat dalam binar, kelegaan tak terkira ... mungkin juga keheranan sekaligus ngeri akibat kedatangannya yang sungguh tak terduga.

Bukan main. Dia terus dikerumuni, bahkan penjaga juga mengizinkan Ravn dan Rin masuk tanpa persyaratan lebih. Konon begini alkisah Fu Xun yang Malang diperdengarkan dari telinga ke telinga telah tuntas dengan haru dan suka cita.

Setidaknya itu melegakan Rin yang semula tertular khawatir dari Ravn sebelum mereka sampai kemari. Kehangatan asing ini ... tidak disangka sukses menghangatkan hatinya pula.

Kalau saja Ravn tidak menoleh sebagai sinyal untuk tetap mengekor saat Hua menyeretnya menuju rumah, pastilah Rin akan lekas ditinggal dan terabaikan akibat tenggelam dalam kerumunan.

Berbondong-bondong semua orang berpencar, di antara mereka mulai menyebarkan kabar kepulangan anak yang bertumbuh dan pulang; mengatakan bahwa raga yang sempat hilang itu, rupanya masih menempatkan hati kepada Desa Harapan Kecil.

Ternyata memanglah seisi desa ini tidak banyak berubah sejauh Ravn memandangnya. Masih banyak wajah-wajah familier yang menetap di sini, tampaknya tidak lagi takut selama Laskar Angin berada di sekitar mereka. Mereka yang menetap di luar tiada henti menatapnya bersama kernyitan dan senyum.

SeeressWhere stories live. Discover now