IV. Penantian Sepercik Cahaya [3/3]

33 9 7
                                    

"Sungguhkah kau rela memilih dirinya yang menyesatkan usai sudah kau berjuang begitu lama?"

Si gadis mengerjap sementara tangannya berhenti dan terbiar menggantung ragu.

Kali pertama dalam sepanjang waktu di sini, ia mendengar suara asing. Sempat jantungnya berdentum keras, tetapi ia tahu tenang lekas menemani usai mendapati sensasi hangat menjalar di sekujur tubuh.

Suara lain tertangkap jelas oleh indra pendengarannya, "Betapa gigih penantianmu itu, janganlah kau sia-siakan dan lantas kau turuti rasa lelah yang dikeluhkan oleh hati kecilmu."

Si gadis percaya, itu datang bersama satu suara baru.

"Kami di sini."

Tatkala, si gadis menarik kembali tangannya. Lekas pita-pita yang berhambur kelip cahaya mulai melilit tubuhnya.

"Kami, yang mungkin selalu kau nanti di dalam iringan doamu."

Ditariklah ia ke dasar ruang tak bersudut itu menuju wilayah penuh cahaya. Tidak lagi ia rasakan sesak. Ketakutan luput darinya, bahkan ia merasa nyaman dalam kehangatan yang disuguhkan oleh lilitan pita-pita yang menariknya, hingga tanpa sadar ia menutup mata.

Tetes demi tetes cairan bening lolos dari bulu mata, menyatu bersama sekelilingnya yang kini penuh oleh air.

"Kemarilah. Kami akan suguhkan kepadamu apa-apa yang bisa disuguhi cahaya untukmu yang telah disimpan sekian lama."

Begitulah si gadis tersadar ia berada di tengah laut, hilang seluruh ikatan pita bercahaya itu. Aneh memang, tetapi ia bisa bernapas di dalam sini.

Tepat ia berputar menghadap dasar, rambutnya yang kecokelatan sepanjang mata kaki meliuk nyaris melilit tubuh. Lekas manik keemasannya takjub oleh pemandangan dasar lautan yang penuh oleh keindahan; terumbu karang bermacam warna, kerumunan ikan kecil, dan bermacam hewan laut yang tak begitu ia kenali.

Seluruhnya membuat sepasang kaki mulus si gadis tanpa sadar mendayung, membawanya menyusuri laut yang menyembunyikan keindahan.

Dirasanya cukup, lekas si gadis berenang menuju permukaan; persis menghadap cahaya yang membias.

Begitu tangannya berhasil meraih udara, segera ia berpijak di tepi danau yang dikelilingi hutan. Disambut oleh cicit burung merdu, si gadis menoleh kepada langit biru yang begitu ia rindukan. Angin yang dalam sekejap mata mengeringkan tubuhnya, menyadarkannya untuk memanfaatkan diri menghirup udara segar sebanyak yang ia bisa.

Si gadis bahkan sampai mendongak dan hilang keseimbangan. Dia terjatuh dengan pekik latah.

Kini hawa menyengat berkuasa. Bahkan langit tampak lebih senja, menyamarkan pemandangan yang dihuni oleh angin yang meniup debu, berikut pasir senada bata yang terhampar sejauh mata memandang.

Hendaknya si gadis bangkit, sepasang insan lantas hadir menyita pergerakan.

Itulah sepasang wanita kembar dengan masing-masing rambut hitam dan keperakan. Keduanya mengumbar senyum samar.

"Lihatlah, Shi. Konon sulit ia berdusta bahwa dirinya menikmati perjalanan pendek yang disuguhi sepercik cahaya."

Suara empunya rambut perak terdengar familier di telinga si gadis. Netra keemasannya lekas berjumpa dengan manik segelap langit malam.

"Benar." Satu suara lalu menggeser tatapan si gadis kepada pemilik mata perak. "Syukurlah, Zhu. Kita datang tepat waktu."

Betapa pun si gadis berusaha mencerna semuanya, dia tetap tidak mengerti persoalan yang tengah dimaksud oleh kedua wanita itu. Namun, ada satu hal pasti yang membuatnya cukup lama terpaku sebelum berakhir bangkit dan bersimpuh takzim di hadapan si kembar.

SeeressWhere stories live. Discover now