15. Satu Pelukan dan Cukup (Annalisa POV)

191 30 15
                                    

**
walau tak terdengar masuk akal
bagi mereka yang tak percaya
tapi kita punya kita
yang akan melawan dunia
Taruh, Nadin Amizah.

**

Aku tidak tahu mengapa Kak Jinan harus menjadi orang pertama yang melihatku siuman. Dia juga yang memanggilkan dokter untuk mengecek keadaanku. Kata dokter, semuanya sudah berjalan kembali normal. Tidak ada yang kurang.

Aku baik-baik saja.

Kedua telingaku tengah mencoba menghargai apa yang coba dia jelaskan, meksipun aku tidak butuh penjelasan itu. Dia masih merasa bersalah, tapi aku ingin berdamai dengan keadaan. Toh, menyimpan dendam itu lebih banyak efek buruknya bagi tubuh daripada efek baik. Saat kamu menyimpan dendam, hidupmu tidak akan tenang dan itu hanya akan membuatmu sakit kepala.

Sembari mendengarkan penjelasan panjangnya, aku menatap infus yang tersambung dengan pergelangan tanganku. Dibanding Kak Jinan—atau aku harus mulai memanggilnya Kak Nan lagi, aku lebih ingin melihat lelaki lain. Bukannya aku masih dendam, tapi yang aku butuhkan saat ini bukan dia.

Jaenna.

Semestinya dia yang ada di sini, duduk di kursi ini, menyambutku membuka mata. Semestinya dia yang pertama kulihat setelah perjuangan panjang untuk bertahan. Kata dokter tadi, aku tidak sadarkan diri selama tiga hari penuh karena mengalami shock berat.

"Kamu enggak marah?" tanya Kak Jinan, heran. Dia mengulurkan lengannya, kemudian meletakan telapak tangannya di atas dahiku. Untuk sesaat, dia terdiam. Namun, aku bisa merasakan matanya mengamatiku dalam-dalam—sangat dalam sampai ke jiwaku. Lalu, "Kenapa kamu enggak marah? Aku lebih suka kalau kamu marah, atau... tunjukin ke aku apa yang kamu rasakan! Kasih tahu aku kalau aku salah, jadi aku bakal berlutut di sini. Di depan kamu."

"Aku udah dengar semua penjelasannya, Kak," responku kalem, kemudian aku menyingkirkan telapak tangannya dari dahiku. Satu helaan napas lolos dari ujung tenggorokan, dan, "Aku udah memaafkan diriku yang menangisi kamu sampai gila, Kak. Aku juga udah memaafkan kamu yang bikin aku kayak orang gila. Jadi, aku pengin kamu juga berdamai sama keadaan."

"Damai?"

"Ayo, kita jadi teman," tambahku, tulus. Aku mengangkat tubuhku untuk berubah ke posisi duduk, sedikit dibantu oleh Kak Jinan yang tampaknya tidak tega melihatku berusaha sendirian. Setelah itu, aku melebarkan senyum dan menambahkan, "Aku akan mendukung kamu dan pekerjaan kamu, Kak. Setalah kupikir-pikir, kayaknya semua ini takdir. Kalau bukan karena kamu seorang anggota Intelijen, aku pasti mati di gudang itu. Tuhan membawa kamu balik untuk menyelamatkan aku, tapi... bukan untuk balik kayak dulu. Aku udah punya orang lain yang aku sayang. Kamu tahu, kan?"

Kedua netra Kak Jinan tiba-tiba menunjukan sorot sendu. Dia tampak begitu sedih setelah aku mengatakan itu. Bisa kujamin, kalau sudah ada gambaran wajah Jaennarendra di atas kepalanya sekarang. Kurasa hampir semua orang yang dekat denganku mengetahui itu, karena aku tidak berusaha menyembunyikannya. Aku ingin menunjukan kepada seluruh dunia, bahwa aku sayang dia.

Tak perlu malu lagi, tak perlu ragu lagi.

Benar, orang yang aku sayang saat ini adalah Jaennarendra. Dunia, kamu harus mengingat namanya; Jaennarendra.

"Jaenna ada di mana, ya, Kak?" tanyaku, sudah tak sabar ingin bertemu. Aku menatap Kak Jinan dengan penuh harap. "Dia ada di luar, kan?"

Kak Jinan tak kunjung menjawab, tapi dia menunjuk ke arah pintu. "Hazen yang ada di luar. Mau ketemu dia dulu?"

Aku manggut-manggut, semangat. "Enggak apa-apa kalau gantian sama Hazen, kan? Enggak bermaksud ngusir, lho."

Kak Jinan mengusap puncak kepalaku, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Lalu, dia berlalu begitu saja. Tak butuh waktu lama, Hazen masuk dengan kedua netra memancarkan matahari terbit. Dia begitu cerah, seperti biasa. Tak salah memberinya panggilan 'Fullsun' sejak dia balita.

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now