11. Sesuatu di Kuba - #Annalisa

284 58 24
                                    

**

ANNALISA POV

Aku memeluk mereka satu per satu dalam tempo lama—kurang-lebih lima menit untuk setiap orang, walaupun terlihat seperti adegan melankolis dalam sebuah sinema. Tak lupa, aku juga mengacak poni Hazen yang sudah panjang. Dia menangis tersedu-sedu ketika harus melepasku ke Kuba. Akhirnya, waktu ke Kuba sudah tiba.

Aku dan Jae sangat siap mencari apa pun yang ada di sana.

Oh, jangan lupakan tentang buku sampul kuning itu. Semuanya di mulai dari sana.

"Udah dong!" kataku, jadi ingin menangis juga. Aku mengusap titik-titik air mata di wajah Hazen dengan kedua jempol, lalu mengecup ujung hidungnya. "I'll miss you so much, Hazen. Jangan nakal-nakal, ya? Patuh sama omongan Kak Rasi dan Kak Tara. Jangan lupa makan juga! Kalau lapar, langsung bilang Kak Rasi. Kamu pasti dimasakin makanan enak."

Hazen manggut-manggut dengan mata memerah. "I—iya, Teh. Teh Nana juga harus rajin makan di sana. Jangan kepikiran aku, ya? Aku tahu, Teteh cinta banget sama aku. Tapi, Teh Nana harus fokus sama apa yang Teteh cari."

Ucapannya justru membuatku ingin memukul puncak kepalanya.

Jaennarendra mendengus, lalu berkata pelan, "Ternyata lo masih edan, ya? Gue kira, tangisan lo cuma tangisan buaya. Kapan warasnya, sih, Zen?"

Hazen cemberut, kemudian menatap tajam ke arah Jae. Mulutnya yang mirip mercon itu bersabda, "Kamu yang harus diawasi, Bang! Kamu bakal berdua sama Teteh aku di sana, pasti kamu akan cari kesempatan sebanyak-banyaknya! Awas aja, ya! Kalau sampai Teteh aku tekdung, aku akan tuntut kamu, Bang!"

Aku benar-benar memukul puncak kepala Hazen. "Ih, masksudnya apaaa?!"

Mataku pasti sudah melotot hampir keluar sekarang. Lagian, dia aneh-aneh saja. Kami berdua tidak akan melakukan hal-hal yang terlalu jauh. Aku yakin, Jae bisa menahan diri. Ya, aku tahu kalau pikiran lelaki itu delapan puluh persen dipenuhi dengan hal-hal seksual, tapi... Jae bisa dipercaya. Ya, dia bisa dipercaya! Kalau dia macam-macam, dia akan disidang oleh Kak Rasi dan Kak Tara. Dia pasti sudah ketakutan hanya memikirkan hal itu, kan?

Kak Rasi yang baru keluar dari dapur pun menyahut, "Kalau lo macam-macam sama adik gue, lo tahu apa yang akan terjadi, kan, Jae?"

Jaennarendra yang semula santai langsung keringat dingin. Aku bisa melihat itu dari ekspresi di wajahnya. Kan, apa kubilang! Dia pasti tidak akan berani macam-macam di Kuba, walaupun ada banyak sekali kesempatan untuk melakukannya.

Omong-omong, kami pada akhirnya memutuskan untuk tidur di satu kamar. Jangan berpikiran macam-macam kalian! Maksudku, kami benar-benar akan tidur. Tidak untuk hal-hal lainnya. Ranjangnya ada dua, jadi tetap nyaman walaupun harus sekamar. Kalau kalian bertanya-tanya kenapa akhirnya diambil keputusan seperti itu, ya karena aku cemas kalau tidur sendirian. Apalagi aku berada di negeri yang begitu jauh dari Indonesia. Aku cemas dan mulai overthiking, jadi akhirnya kami memutuskan tidur satu kamar. Sekalian, Jaennarendra bisa menjagaku dengan baik kalau sampai bipolarku kambuh.

Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel gagah di dinding ruang tamu, lalu aku mengubah pandangan ke arah Jae. "Kak Abra yang bakal mengantar kita ke bandara?"

Tadi Jae bilang seperti itu, karena mobilnya masih berada di bengkel.

Jae mengangguk. "Iya. Kenapa?"

"Kapan datangnya?" Gantian Kak Tara yang bertanya. Sejak tadi, dia sibuk dengan ponselnya karena urusan pekerjaan. Namun, Kak Tara memilih berangkat bekerja kalau aku juga sudah berangkat. Dia meletakan ponselnya di atas meja, lalu, "Pesawat kalian take off sekitar satu jam lagi, lho. Kalau dia telat, mending diantar Kak Rasi aja, kan?"

JAENNA: HERO OF THE YEARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang