12. Set Me Free - #Annalisa

310 52 11
                                    

**
aku masih di dunia ini
melihatmu dari jauh bersama dia
walau pasti kuterbakar cemburu
tapi janganlah kau ke mana-mana
Tanpa Batas Waktu, Ade Govinda & Andi Fadly Arifuddin.

**

ANNALISA POV

Langit Kuba begitu biru hari ini, seperti menyalurkan energi untuk bersenang-senang. Aku pun sudah punya banyak agenda. Aku ingin kembali ke Old Havana. Kemarin, aku belum sempat mengambil banyak gambar. Suasana hatiku yang begitu baik ini, sepertinya bisa membawaku berkelana lebih jauh lagi. Oh iya, pantai itu. Aku juga harus kembali ke sana, supaya aku bisa membuktikan apakah warna senjanya memang selalu berbeda-beda setiap harinya. Bisa dijadikan judul penelitian yang bagus.

"Na," panggil Jaennarendra yang baru keluar dari kamar mandi.

Rambutnya basah, tapi dia sudah siap dengan setelan sweater lengan panjang merah dan celana kain berwarna earth tone. Setelah memanggilku seperti itu, dia merogoh kopernya dan mengambil kamera analog dari sana.

"Kemarin aku lupa mau bawa ini, gara-gara mikirin kamu."

Aku menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

"Iya, takutnya kamu belum sarapan jadi aku grasa-grusu gitu."

Aku menahan tawa, lalu, "Makasih, ya, karena selalu peduli."

"Always. With you."

Aku membetulkan letak topi baret yang kukenakan hari ini. Warna topinya sangat pas dengan sweater lengan panjang yang dipakai Jaennarendra, sama-sama warna merah. Kami akan terlihat manis nanti, saat berjalan-jalan di Old Havana. Terlihat lebih nyata sebagai dua manusia yang berbagi rasa.

"Jae." Gantian aku yang memanggilnya. Lalu, "Aku pengin kita bareng ke tempat itu, enggak mau main game lagi."

Oke, aku mungkin akan terdengar begitu manja sekarang. Tapi, game itu membuatku muak. Tidak menyenangkan lagi.

Apakah Jae akan menganggapku sebagai perempuan yang membosankan?

Di luar dugaan, Jae justru tersenyum manis. "Aku tadinya yang pengin ngomong gitu. Enaknya berdua, sih. Kita lupakan aja game sialan itu."

"Kita jadi kelihatan enggak ambisius, ya?"

"Selalu ambisius juga bikin capek sendiri, Na."

Aku setuju, terkadang ada hal-hal yang lebih enak dinikmati perlahan-lahan. Daripada lari secepat mungkin, ada hal-hal yang lebih indah kalau dinikmati sambil berjalan pelan. Kalau kita lari, akan ada pemandangan yang terlewat. Kita justru akan menyesalinya.

"Aduh!"

Tiba-tiba dia memegang perutnya sendiri.

"Kenapa?" tanyaku, kaget.

Jaennarendra nyengir gemas. "Mau ke toilet dulu, ya? Tungguin!"

Aku tidak bisa menahan tawaku, jadi aku segera mendorongnya menuju ke toilet. Dia salah makan, ya? Memangnya kemarin kami makan apa? Sepertinya, makanan Kuba tidak cocok untuknya.

Setelah pintu toilet tertutup, aku segera merogoh saku rok sepan motif kotak-kotak warna earth tone. Nah, kan! Penampilan kami hari ini begitu matching, padahal kami tidak janji apa-apa. Saat kami mengeluarkan pakaian dari koper dalam waktu hampir bersamaan, kami berdua juga terkejut. Lalu, kami hanya tertawa keras setelahnya.

Menurutku cukup lucu.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku, kemudian membuka internet. Aku akan mencari restoran yang menjual makanan yang bisa dimakan oleh Jaennarendra. Kasihan, kalau nanti dia harus keluar-masuk toilet karena perutnya tidak bisa menerima makanan khas Kuba. Aku baru ingat, kemarin aku mengajaknya menyantap Medianche, sebuah hidangan khas Kuba yang terbuat dari bahan utama daging babi panggang. Lalu, makanan itu ditambah dengan keju Swiss dan pickles. Apa perut Jaennarendra tidak kuat memakan daging babi panggang, ya? Ah! Sial! Aku seharusnya bisa menahan keinginanku kemarin, jadi Jaennarendra tidak akan kesakitan sekarang. Setelah perburuan panjang di internet, aku memutuskan bahwa kami akan makan pasta saja. Pasta tidak akan membahayakan, kan? Makanan itu kan dijual di mana-mana. Ada di Indonesia juga. Pasti Jae pernah makan pasta berkali-kali sebelumnya, jadi... aman.

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now