10. Sentimental - #Jaennarendra

349 61 22
                                    

**

JAENNARENDRA POV

Gue menyisir rambut dengan frustasi, lalu, "Enggak ada bengkel di dekat sini, Jer?"

Jeral menggeleng. "Kalau lo mau, gue bisa telepon bengkel langganan gue. Tapi, ya... Lo mending balik daripada menunggu, kan? Lo kan juga harus mengantar Mbak Anna pulang sebelum lo dibegal sama Kakak pertamanya. Berhentiin taksi gih!"

Aah, Kak Rasi.

Gue melirik alroji, lalu meloloskan helaan napas berat. "Dia juga belum balik."

"Siapa?" tanya Abraham Jeonnaratama, kakak kandung Jeral. Dia baru saja keluar dari dalam sanggar setelah mengantar adik perempuannya, yang tentu juga adik perempuan Jeral. Lalu, dia melihat ban mobil gue yang sudah kempes. "Wah, lo enggak bisa pulang dong! Ban lo udah hilang anginnya itu, Jaen."

Berbeda dari Bunda Dora, Kak Abraham lebih suka memanggil gue 'Jaen' yang cara bacanya terdengar seperti 'Jane'. Kan, nama gue jadi seperti nama perempuan.

"Makanya, kan gue mau telepon bengkel langganan kita," sahut Jeral, kemudian dia merogoh ponsel dari saku celana jinsnya dan menekan beberapa tombol. Dia menjauh, lalu, "Halo, Pak! Iya, ini Jeral, anaknya Pak Tjahja—"

Gue tidak bisa mendengar pembicaraan mereka dengan jelas, tapi Jeral sepertinya benar-benar menelepon bengkel langganan keluarganya. Mau bagaimana lagi? Ban kempes memang merepotkan. Gue jadi enggak bisa menunaikan tanggung-jawab gue terhadap Nana. Kan, semestinya gue sudah mengantarnya pulang sekarang. Ke mana dia pergi, ya?

Batang hidungnya saja belum kelihatan.

Gue menunggu dengan sabar bersama Kak Abraham. Usianya hanya satu tahun lebih tua dari gue. Sewaktu masih SMA, gue sering melihat Jeral bertengkar dengan dia. Biasa, lah. Anak laki-laki jadi gengsinya tinggi. Komunikasi mereka kurang baik, apalagi Kak Abraham ini jarang bicara. Karena lebih suka diam, Jeral suka kesal sendiri. Amarahnya enggak dapat tanggapan, jadi dia semakin kesal. Namun, biasanya, setelah lewat beberapa jam, Kak Abra akan mentraktir Jeral makan, atau membelikannya wine mahal. Apa yang terjadi kemudian? Ya, apa lagi? Keduanya akan mabuk sampai subuh dan saling melempar sumpah-serapah, tapi setelah itu hubungan mereka akan membaik. Memang caranya unik sekali.

Puas mengobrol perihal tato bersama Kak Abraham, perempuan yang gue tunggu pun juga menunjukan wujudnya. Dari ekspresi wajahnya, gue yakin kalau dia baik-baik saja. Kak Abraham menyiku gue, sembari menunjuk kedatangan Annalisa dengan dagunya.

"Pacar lo?" tanyanya.

Gue nyengir. "On the way," jawab gue, lirih.

Tak lama kemudian, Annalisa berdiri di hadapan gue dan menatap Kak Abraham.

"Kakaknya Jeral, Kak Abraham," ucap gue untuk memperkenalkan mereka, lalu gue beralih menatap Kak Abraham dan menambahkan, "Namanya Annalisa, tapi biasa dipanggil Nana. Anak UI. Ngakunya jenius, tapi... ya... lumayan, lah!"

Annalisa mendengus, kemudian menginjak sepatu kanan gue cukup keras sampai gue harus melotot dan menahan perih.

Kak Abraham menahan tawa, kemudian mengulurkan tangan dengan sopan. "Senang ketemu kamu, Nana."

"Hehe." Annalisa menerima uluran tangan itu, tapi dia terlihat malu-malu. "Iya, Kak. Senang juga ketemu kamu."

Gue menarik senyum miring. "Kenapa lo senang? Karena dia ganteng?"

Annalisa melirik gue tajam, lalu dia menggeleng. Sepersekian detik kemudian, Nana justru menunjuk tato yang menghiasi kedua lengan Kak Abraham. "Gue enggak pernah kenal lelaki bertato, jadi ini pengalaman pertama. Senang banget! Gue kira, lelaki bertato itu bakal sangar kayak preman, tapi... Kak Abraham enggak kayak gitu."

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now