06. Sudah Sekian Lama - #Jaennarendra

592 87 25
                                    

**

JAENNARENDRA POV

"Waktu Surga dan dunia tuh sama enggak, sih, Jae?" tanya Annalisa saat kami berdua tengah menikmati semburat oranye dan biru di atas sana. Sesuai perjanjian, gue membiarkan dia terlelap, kemudian membangunkannya pukul lima sore. Dia tidur untuk waktu yang lama, tapi gue lihat-lihat dia sangat nyenyak. Lalu, dia melanjutkan, "Hahaha. Aneh banget, ya, gue tanya sama lo, kan lo masih hidup. Lo mana tahu Surga ada di mana."

"Di telapak kaki Ibu," jawab gue, sedikit melucu.

"Hahaha."

Ternyata berhasil. Gue lucu.

Annalisa melirik gue dengan ekor mata. Lalu, "Gue mau minta tolong lagi, boleh?"

"Boleh, kok. Santai aja."

"Antar gue ke rumah sakit."

Mata gue membulat. "Lo kambuh lagi?!"

Annalisa tersenyum lebar, lalu dia mendorong gue yang memang hendak mendekat untuk memastikan dia baik-baik aja. Dia berkata, "Enggak, bukan gue. Pas chat sama Bapak, gue janji mau jengukin gitu. Nanti beli buah dulu, ya?"

"Oh, mau jenguk istrinya Bapak Kasih?"

"Ibunya almarhum Kak Jinan."

Gue mendengus kecil. "Ya, kan sama aja."

Annalisa kembali tertawa.

Gue melirik jam arloji, lalu, "Tapi, jam jenguk udah selesai, kan, Na?"

Annalisa mematung, lalu dia menepuk jidatnya sendiri. "Aah, gue lupa! Rumah sakit kan bukan punya ayah gue, ya! Mana bisa kita masuk ke sana kalau jam segini?"

"Ya, udah." Aku mencoba menenangkan. "Kapan-kapan aja, bisa, kan?"

"Iya," jawabnya, seperti kecewa.

Aku menangkup kedua pipinya dan, "Enggak jadi hitung mundur, nih?"

Sorot kecewa Annalisa perlahan-lahan menghilang. Lalu, dia mengalihkan pandangan ke luar kaca. Matahari akan kembali ke rumah. "Ayo, kita hitung!" ajaknya.

Gue hanya menurut, mengikutinya.

Kami menghitung dari angka sembilan, sampai satu. Matahari benar-benar kembali ke rumah, begitu juga kami.

"Yuk, pulang." Aku mengulurkan tangan.

Annalisa diam sejenak, sambil memandangi uluran tangan gue. Namun, tak lama, dia menyambutnya dengan senyum yang begitu tulus.

Kami bergandengan tangan keluar dari kamar itu.

"Nameera tuh orangnya kayak gimana, Jae?" tanya Nana, tanpa gue duga.

Pertanyaan itu sedikit mengejutkan, tapi gue berupaya untuk menjawabnya, "Rara itu orangnya baik—tentu aja, karena dia sahabat gue, pekerja keras, ambisius juga, dia lebih feminin daripada lo. Banyak bajunya yang warna pink, terus... dia suka banget sama Jogja. Dia download foto-foto Jogja dari internet, terus dia cetak dan tempel di tembok kamarnya."

"Wow," sahut Annalisa. "Pasti anaknya artistik banget."

Gue tersenyum. Lalu, teringat akan sesuatu. "Eh, Na!"

Annalisa menoleh. "Kenapa?"

Gue melepaskan gandengan tangan kami, kemudian merogoh saku celana. "Gue ada ide menarik, supaya kita enggak bosan."

Annalisa tampak menunggu gue untuk melanjutkan.

"Gue scan buku kuning itu, terus gue jadikan PDF," jelas gue. "Ada di ponsel."

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now