06. Sudah Sekian Lama - #Annalisa Bagian 1

1K 120 29
                                    

**

ANNALISA POV

Menurut penelitian yang pernah kubaca—beberapa tahun lalu karena bosan, pelukan memiliki banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Pelukan mampu mengurangi rasa sakit, memberikan kebahagiaan, meningkatkan sistem imun tubuh, relaksasi, dan juga untuk berkomunikasi.

Pelukan Jaennarendra sepertinya menjurus manfaat terakhir; komunikasi.

Lelaki itu berusaha mengkomunikasikan kepadaku bahwa ini akan berlalu.

Aku akan baik-baik saja meskipun membawa luka itu ke mana-mana, karena aku akan mulai terbiasa. Aku bisa makan dan minum sambil berbincang akrab dengan luka ini. Cara paling ampuh untuk kembali bangkit adalah menerima semuanya. Berkawan dengan luka, yang juga bermaksud menyembuhkan.

Dalam pelukan Jaennarendra seperti sekarang membuat kesedihanku sedikit hilang. Aku memejamkan mata ketika Jaennarendra mengecup puncak kepalaku beberapa kali—yang semestinya kupukul wajahnya dengan tinju, tapi aku justru menikmatinya. Aku butuh ini. Setelah bertahun-tahun berduka, aku baru sadar kalau pelukan memang hal nomor tiga yang bisa membuat bahagia. Jaennarendra mempererat pelukan kami. Ada kenyamanan dan rasa aman. Dengan Jae, rasanya tidak ada yang perlu kurisaukan lagi.

Kukira begitu.

"Annalisa...?"

Suara itu tidak asing.

Jae melepaskan pelukannya kemudian melirik ke belakang punggungnya, sementara aku mengusap rintik-rintik air mata yang melintasi kedua pipi. Tak lama kemudian, aku ikut menengok ke belakang.

Netraku membulat dengan debar jantung yang meningkat. Kedua tanganku tiba-tiba berkeringat dingin. Suhu tubuhku juga tidak normal. Jae pasti menyadari itu, karena tangan kanannya langsung mengusap-usap punggungku dengan lembut.

"Bapak...," kataku lirih.

Laki-laki berusia setengah abad itu menatapku dengan ekspresi yang tidak kupahami. Ada kerapuhan di sana, tapi juga keterkejutan. Seingatku hari ini hari Jumat—makanya aku ataupun Jae tidak kuliah—jadi semestinya bapak tidak datang. Bapak biasa datang pukul tiga sore di hari Minggu. Lalu, ekspresi di wajah bapak berubah menjadi sendu. Sorot netranya meredup, kemudian berjalan cepat sekali menghampiriku.

"Ini benar Nak Annalisa, kan?"

Namanya Bapak Kasih, bapak kandung almarhum Kak Jinan. Sesuai namanya, bapak sangat mengasihiku selama aku menjalin cinta dengan Kak Jinan. Bapak dulunya bekerja sebagai guru olahraga di sebuah SMA di daerah Jakarta Selatan, tapi sudah pensiun sejak aku masih berpacaran dengan Kak Jinan. Kata anak sulungnya itu, kondisi bapak mulai melemah. Bapak suka sekali membeli es krim untukku tiap aku datang ke rumah, karena beliau tahu kalau aku suka es krim. Memang seperti anak kecil, kan? Aku juga tahu itu. Bapak Kasih selalu memperlakukanku dengan begitu baik. Seolah aku ini memang anak perempuannya. Setiap kali dibawa ke rumah, Bapak Kasih akan selalu menyambutku dengan pelukan hangat dan senyum cerah. Berbeda sekali dengan istrinya, yang bernama Ibu Lintang.

Aku tidak tahu kenapa ibu sangat tidak suka padaku.

Kak Jinan membawaku pulang ke rumahnya supaya ibu perlahan-lahan menerimaku. Namun, usaha itu tidak berhasil. Ibu selalu ketus kepadaku. Tiap kali aku membantunya di dapur, ibu selalu berbicara dengan aksen marah, padahal aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku sering sekali melamun dan bertanya-tanya apakah aku ini kurang sopan, sampai Ibu Lintang sangat membenci keberadaanku di rumahnya. Mungkin, karena intensitas pertemuan kami tidak terlalu sering. Pengaruh jarak juga, jadi aku hanya bisa datang sebulan sekali.

Bapak mengelus puncak kepalaku. "Beneran Nak Annalisa."

Aku mengangguk pelan. Mataku panas. "Maaf, Pak. Saya lancang datang ke makam Kak Jinan. Saya tahu, Ibu pasti enggak akan suka. Bapak datang sendiri?"

JAENNA: HERO OF THE YEAROnde histórias criam vida. Descubra agora