04. Suara Rasa dan Lukisan Perempuan - #Annalisa Bagian 1

1.4K 170 45
                                    

Ini bakalan panjang bangeeet, jadi tarik napas dulu ya saudara-saudari.

**

ANNALISA POV

Aku memasang wajah cemberut ketika Kak Tara justru sibuk dengan ponselnya. Dia memintaku untuk menggantikan posisinya jadi aku yang menyetir mobil sekarang, sedangkan dia sibuk berselancar di internet untuk mencari hal-hal yang tidak masuk akal.

Biar kuberitahu pada kalian, bahwa jiwa-jiwa penasaran sepertinya memang mengalir deras di keluargaku. Alasan utama orang tuaku pergi ke Australia adalah karena penasaran dengan Opera House di Sydney. Awalnya mereka hanya liburan setelah menikah, kemudian ibun mencoba mendaftar S2 di Melbourne dan diterima. Tanpa pikir panjang, mereka pun pindah ke Australia walaupun ibun sedang mengandung Kak Rasi kala itu—usia kandungan baru dua bulan. Dengan jiwa petualang sekaligus haus informasi, mereka mencari pekerjaan di sana, kemudian memutuskan untuk tinggal di sana sampai sekarang. Mereka berdua benar-benar suka dengan negara itu, sampai pulang pun harus disindir dulu oleh Kak Rasi. Kalau keras kepala tidak mau pulang, maka kami berempat yang akan ke sana.

Kalian tidak perlu kaget, keras kepala itu kudapatkan dari orang tuaku.

Lalu, apa yang terjadi sampai aku dan saudara-saudaraku bisa tinggal di ibukota Jakarta? Kenapa kami tidak hidup di Australia saja? Kenapa kami justru tinggal berempat tanpa orang tua di kota yang dikenal sebagai langganan banjir ini?

Semua ini karena campur tangan kakek dan nenek kami. Ayah dan ibun merupakan asli budak Bandung. Kakek-nenek dari pihak ibun memaksa orang tuaku untuk memulangkan Kak Rasi dan Kak Tara yang dilahirkan di Australia. Mereka memaksa akan merawat kedua cucunya sampai besar. Ayah dan ibun pun menurut. Kak Rasi dipulangkan lebih dulu karena akan dimasukan SD di Bandung, dirawat oleh kakek-nenek. Dua tahun kemudian, Kak Tara juga dipulangkan karena akan masuk SD. Setelah itu, aku dan Hazen juga mengikuti pola yang sama. Kami dilahirkan di Australia, tapi dipulangkan setiap akan masuk SD. Kakek dan nenek dari ibun benar-benar memaksa ingin merawat kami berempat.

Keluarga dari pihak ibun itu memang unik, sedangkan kakek dan nenek dari ayah jauh lebih santai. Kalau rindu cucu, ya diajak liburan ke Bali. Intinya, semua kerumitan ini terjadi karena kakek-nenek dari pihak Ibu. Namun, sepertinya itu adalah pilihan yang tepat. Dengan kami dipulangkan ke Bandung dan dirawat oleh kakek-nenek, orang tua kami bisa menggapai mimpi mereka di negara itu. Tanpa gangguan kami. Tanpa beban.

Setiap kali aku memikirkannya, rasanya memang seperti hidup tanpa cinta orang tua. Ada saatnya aku merasa kesal karena kupikir orang tuaku egois. Mereka tidak mau merawat kami, mereka hanya peduli dengan mimpi mereka sendiri. Namun, setelah aku tumbuh lebih tinggi, aku mulai memahami mereka. Dan, aku justru bangga. Tiap kali guru di sekolahku bertanya tentang orang tua, aku bisa memamerkannya bahwa ayahku seorang dosen kimia di Universitas Melbourne, dan ibun bekerja sebagai pemilik organisasi swasta yang fokus pada perlindungan perempuan. Ibun sering sekali mengabari kalau dirinya akan pergi ke Afrika untuk menjadi sukarelawan.

Ada satu kalimat yang kuingat dari ibun, saat umurku 16 tahun, katanya: Kita juga harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri, walaupun harus merangkak sekalipun. Kita dilahirkan sebagai wanita, yang rusuknya kokoh dan akalnya cerdas. Kamu juga begitu.

Cerita ini tidak hanya selesai di situ. Kami berempat pada akhirnya pindah ke ibukota Jakarta, yang awalnya kumusuhi karena lingkungan rumah kami sering terkena banjir. Dulu seperti itu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Pihak komplek perumahan kami sudah membuat banyak gorong-gorong, jadi airnya tidak akan meluap ke jalanan. Penghuni komplek pun juga mulai menumbuhkan kesadaran. Ada pembersihan sampah secara berkala.

Kepindahan kami ke Jakarta dilandasi oleh keinginan Kak Rasi yang sejak kecil sudah bercita-cita menaklukan Jakarta. Tidak tahu apa alasan yang lebih spesifik, mungkin dia jatuh cinta pada Monumen Nasional atau Kota Tua. Dia tidak pernah mau memberitahuku.

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now