07. Something Emotional - #Jaennarendra

558 84 5
                                    

**

JAENNARENDRA POV

Tiga minggu setelah kejadian itu, gue hanya berkabar via chat dengan Annalisa. Dia mau fokus dengan ujian semesternya dan enggak mau diganggu, jadi gue menghargai itu.

Omong-omong, kondisinya semakin membaik. Kejadian 'penculikan' Serin memang membuat Annalisa sempat down. Bahkan, hari itu, dia ketiduran karena sudah enggak punya energi. Tubuhnya lemas. Sebenarnya cukup bagus, karena dia tidak perlu menelan pil tidur. Namun, menurut papa, keadaan itu justru sangat berbahaya. Kalau dia terus menangis, dan kehabisan energi. Dia akan menyakiti dirinya sendiri. Jadi, gue dan Mahesa mengantarnya pulang ke rumah lebih dulu dan gue menggendongnya ke kamar atas izin Kak Tara. Gue juga membeberkan apa yang terjadi, karena Kak Tara berhak untuk tahu.

Gue melihat sorot khawatir di mata Kak Tara, dan itu wajar. Sangat wajar.

Setelah memastikan Annalisa tidur nyenyak di kamarnya, gue dan Mahesa pun pamit pulang. Ehm, sebenarnya bukan pulang. Kami kembali ke basecamp—alias garasi rumahnya Jeral. Alasan kami memilih menginterogasi Serin di basecamp adalah keadaan rumah Jeral yang sedang kosong saat itu. Orang tuanya sibuk di sanggar, kakak lelakinya juga sibuk di studio tato miliknya—kakak lelaki Jeral adalah seorang tattoist. Dan, adik perempuan Jeral juga kuliah jadi keadaan rumah benar-benar kosong. Hari itu, sebenarnya Jeral harus hadir di acara jurusannya. Namun, dengan berbekal kepercayaan 'teman sejati', dia jelas memilih ikut gue daripada acara itu. Lain kali, gue harus bersikap lebih baik lagi kepada Jeraldine karena menyiapkan basecamp sebagai tempat yang cocok untuk tempat interogasi.

Kami lanjut mengulik informasi dari Serin. Beruntung, gadis itu mulai jinak jadi kami sama-sama enak. Enggak perlu ada keributan.

Ada banyak informasi yang dikumpulkan oleh Mahesa.

Dia benar-benar keren hari itu.

"Lo masih mau melacak Serin, Sa?" tanya Jeral, sambil mengunyah popcorn. Saat ini, kami sedang berada di home theater milik Mahesa yang ada di bawah tanah. Padahal rumah Mahesa sudah tiga lantai, tapi tetap tidak muat. Jeral menambahkan, "Ya, gue tahu kalau ada yang mencurigakan dari interogasi kita waktu itu, tapi... kasihan kalau kita pantau hidupnya Serin terus-terusan. Apalagi dia cewek, kan?"

"Ini enggak akan lama, Jere," sahut Mahesa, netranya fokus pada layar yang tengah menampilkan salah satu serial Netflix yang sedang hits akhir-akhir ini. Gue membaca banyak review bagus tentang serial ini. Lalu, Mahesa melirik kami satu per satu dan menambahkan, "Setelah kita dapat titik temunya, gue akan putus penyadapan itu... Please, kalian tahu gue banget. Gue enggak bisa meloloskan keanehan ini gitu aja."

Deka tersenyum tipis. "Lo sama Jae tuh punya kesamaan."

"Apa?" tanya gue, mewakilkan Mahesa.

"Sama-sama enggak bisa dibuat penasaran dan harus ketemu jawabannya."

Mahesa terkekeh pelan, begitu juga gue. Lalu, kami melakukan hi-five.

"Omong-omong, makasih banget, lho, Sa," kata gue, sambil menepuk bahunya. "Lo keren banget waktu itu, sampai bisa mengulik banyak informasi dari Serin. Gue kaget, sih... Gue enggak menyangka kalau Serin punya ikatan sama almarhum Kak Jinan—cowok yang Nana bangga-banggakan. Yah, lo tahu kan... dia secinta apa sama cowok itu."

Jeral menyiku lengan gue. "Lo enggak lagi cemburu, kan, Jae?"

Gue menggeleng, kemudian ketawa kecil—ada yang nyeri di dada. Sedikit. Serius, itu hanya sedikit nyeri. Lalu, gue berkata, "Mau cemburu juga bukan siapa-siapa. Memangnya gue siapa, sih? Bukan lagi pacar bohongan, cuma partner in crime."

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now